Kamis, 29 Desember 2016

kurikulum pesantren salafiyah

TELAAH KURIKULUM PESANTREN SALAFIYAH
Oleh:
Wahyudin Noor (NIM: 1502521482)

TUGAS TERSTRUKTUR
MATA KULIAH
 TELAAH KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
Dosen Pengampu:
  Dr. Hj. Salamah, M.Pd     


 











PASCASARJANA
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
BANJARMASIN
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kurikulum merupakan alat yang sangat penting dalam keberhasilan suatu pendidikan, tanpa adanya kurikulum yang baik dan tepat maka akan sulit dalam mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yang telah dicita-citakan oleh suatu lembaga pendidikan, baik formal, informal maupun non formal. Karena segala sesuatu harus ada manajemennya bila ingin menghasilkan sesuatu yang baik, sesuai dengan yang diharapakan.
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua yang berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan umat islam, pusat dakwah dan pusat pengembangan masyarakat muslim di Indonesia. Istilah pondok pesantren pertama kali dikenal di Jawa, di aceh dikenal dengan rangkah dan dayah, di Sumatra Barat dikenal dengan surau.[1]
Dimana kurikulum senantiasa mengalami perubahan, perbaikan dan pembahruan. Di Indonesia, telah tercatat dalam sejarah pendidikannya telah mengalami beberapa kali perubahan kurikulum seiring perubahan dan tuntutan kebutuhan masyarakat. Disamping kurikulum formal dan non formal, terdapat juga kurikulum tersembunyi (the hidden curriculum) . Dimana kurikulum ini antara lain berupa aturan-aturan yang tidak tertulis, yang tentunya kurikulum ini bisa berkonotasi positif maupun negatif.
Apabila hal ini dikaitkan dengan pesantren sebagai lembaga pendidikan bahwa konsep kurikulum yang digunakan dalam pondok pesantren tidak hanya mengacu pada pengertian kurikulum sebagai materi semata, melainkan jauh lebih luas dari itu, yakni menyangkut keseluruhan pengalaman belajar santri yang masih berada dalam lingkup koordinasi pondok pesantren. Termasuk didalamnya sistem pendidikan dan pengajaran yang berlaku di pesantren, yang mana perlu diadakan suatu rekonstruksi sesuai dengan tuntutan masyarakat dan jaman. Sehingga misi dan cita-cita pondok pesantren dapat berperan dalam pembangunan masyarakat.
Salah satu keunikan pesantren adalah independensinya yang kuat, dimana masyarakat memiliki keleluasaan dan kebebasan relatif yang tidak harus memihak atau mengikuti model baku yang ditetapkan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan. Pesantren bebas mengembangkan model pendidikannya tanpa harus mengikuti standarisasi dan kurikulum yang ketat. Karena cenderung pada sentralistik yang berpusat di tangan kyai. Model pendidikan seperti inilah yang berjalan di pesantren menjadi sangat beragam sesuai dengan kecenderungan dan misi yang ingin dikembangkan oleh sang kyai, yang sebagai pemimpin sekaligus sebagai pengasuh pondok pesantren.
Pendidikan pesantren biasanya lebih menekankan terhadap satu aspek disiplin keilmuan tertentu, sehingga mengabaikan aspek keilmuan lainnya. Karena pelajaran agama masih dominan di beberapa lingkungan pesantren, bahkan materinya hanya khusus disajikan dalam bentuk bahasa arab, dan pengetahuan umum dilaksanakan hanya setengah-setengah atau bahkan tidak dilaksanakan sama sekali, sehingga kemampuan santri terbatas dan masih kurang mendapat pengakuan dari sebagian masyarakat.[2]
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis mencoba untuk melihat lebih mendalam tentang kurikulum pembelajaran dalam pendidikan pesantren khususnya pesantren salafiyah.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini sebagai berikut;
1.      Apakah kurikulum pesantren salafiyah itu?
2.      Bagaimanakah kurikulum pesantren salafiyah itu?
3.      Bagaimanakah proses pembelajaran dalam pesantren salafiyah itu ?



BAB II
PEMBAHASAN
TELAAH KURIKULUM PESANTREN SALAFIYAH
A.    Pengertian Kurikulum
Telaah berarti penyelidikan; kajian; pemeriksaan; penelitian.[3] Istilah “curriculum” berasal dari bahasa Latin curro atau currere dan ula atau ulums yang dalam bahasa Inggeris diartikan “race corse”  (lapangan/pacuan kuda, jarak tempuh lari, perlombaan, pacuan balapan, peredaran, gerak berkeliling, lapangan perlomabaan, gelanggang, kereta balap, dan lain-lain” (Prent, 1969: 211; Webster, 1989: 340).
Sedangkan pada tahun 1955 istilah kurikulum dipakai dalam bidang pendidikan dengan arti sejumlah mata pelajaran di suatu perguruan maupun lembaga pendidikan lainnya[4]. Dalam konteks pendidikan Islam, istilah kurikulum lebih dikenal dengan “manhaj” yang berarti sebagai jalan terang yang dilalui oleh pendidik dan peserta didik dalam mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap.[5]
Menurut kurikulum 1975, definisi kurikulum menurut SK menteri Pendidikan  dan Kebudayaan No :008 c/u/1975 diartikan sebagai ,”sejumlah pengalaman belajar yang diberikan (menjadi tanggung jawab sekolah) dalam usaha untuk mencapai suatu tujuan pendidikan tertentu”.[6] Sedangkan menurut Oemar Hamalik kurikulum adalah rencana tertulis tentang kemampuan yang harus dimiliki berdasarkan standar nasional, materi yang perlu dipelajari, dan pengalaman belajar yang harus dijalani untuk mencapai kemampuan tersebut, dan evaluasi yang perlu dilakukan untuk menentukan tingkat pencapaian kemampuan peserta didik dalam mengembangkan potensi dirinya pada satuan pendidikan tertentu.[7]
Hasan (1988:28) mengemukakan kurikulum pada empat dimensi yakni: 1) kurikulum sebagai ide atau gagasan, 2) kurikulum sebagai rencana tertulis, 3) kurikulum sebagai kegiatan (proses), dan 4) kurikulum sebagai hasil belajar. Dalam dimensi ide, kurikulum adalah pernyataan yang berkaitan dengan tujuan pendidikan (Print, 1993). Sementara itu dalam dimensi dokumen, kurikulum adalah seperangkat rencana tertulis (Oliva, 1982). Kurikulum dalam dimensi implementasi adalah serangkaian pengalaman nyata yang dialami peserta belajar dengan bimbingan sekolah (Tanner & Tanner, 1980), dan kemudian kurikulum dalam dimensi hasil merupakan serangkaian hasil belajar yang tersusun (Johnson, 1967). Konsep kurikulum pada empat dimensi ini merujuk pada tahapan pengembangan, yakni mulai pengembangan ide atau gagasan, kurikulum tertulis (desain kurikulum), implementasi kurikulum, dan hasil belajar.
Dimensi kurikulum di atas dapat digambarkan sebagai berikut:
Idealnya suatu kurikulum dirancang bermuara dari ide-ide yang diseleksi secara mendalam, kemudian dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis (rencana) secara jelas, kemudian dilaksanakan secara professional dalam proses pembelajaran, sehingga memperoleh hasil yang diinginkan secara maksimal. Dalam prakteknya keempat dimensi tersebut tidak selalu sejalan, dapat saja ide tidak tertuangkan dalam rencana dan langsung terlaksana dalam pembelajaran, hal ini biasa terjadi, misalnya ide/pandangan seorang guru yang tidak terdapat dalam dokumen dilaksanakan (proses) dan mempengaruhi hasil belajar, sehingga muncul istilah kurikulum tersembunyi.[8]
Setiap sekolah atau lembaga pendidikan hampir bisa dipastikan mempunyai hidden curriculum yang diartikan sebagai pengalaman aktual yang diberikan kepada siswa, yang mungkin berbeda dengan apa yang direncanakan secara formal, termasuk yang tejadi pada dunia pesantren hususnya pesantren salafiyah yang kita bahas dalam makalah ini.
Dari beberapa pengertian diatas dapat kita pahami bahwa; Kurikulum dalam pengertian modern lebih sering ditafsirkan secara lebih luas, tidak hanya sebagai mata pelajaran, tetapi meliputi semua kegiatan dan pengalaman yang menjadi tanggung jawab sekolah. Dalam hal ini tidak dipisahkan antara kegiatan intrakulikuler dan kegiatan ekstrakulikuler.
Meskipun pemahaman dan pandangan tentang kurikulum berubah dari pandangan tradisional ke modern atau sempit ke luas, namun konsep kurikulum tradisional atau sempit tidak berarti telah ditinggalkan sama sekali. Praktisi pendidikan umumnya masih menggunakan konsep kurikulum tersebut, disamping juga telah melaksanakan pengertian kurikulum modern.[9]
B.     Pesantren Salafiyah
Dalam pemakaian sehari-hari, istilah  pesantren disebut dengan pondok saja atau kedua kata ini di gabung menjadi istilah pondok pesantren. Secara etimologis perkataan pesantren berasal dari kata “santri” dengan awalan “pe” dan akhiran “an” berarti tempat tinggal santri. Nurcholis majid berpendapat bahwa istilah santri berasal dari perkataan “sastri” berasal dari bahasa sangsakerta yang artinya “melek hurup”, sedangkan Zamakhsyari Dhofier berpendapat bahwa kata santri dalam bahasa India “shastri” yang berarti orang yang tahu buku-buku suci agama hindu atau seseorang sarjana ahli kitab suci agama hindu (Yasmadi, 2005: 61)
Pesantren adalah lembaga pendidikan dan penyiaran agama Islam, tempat berlangsungnya proses belajar dan mengajar sekaligus pusat pengembangan   jama’ah masyarakat pemukiman. Lembaga  Research  Islam mendefinisikan pesantren adalah “suatu tempat yang tersedia untuk para santri dalam menerima pelajaran-pelajaran agama Islam sekaligus tempat berkumpul dan tempat tinggalnya (Qomar, 2002: 2)
Hampir  dapat  dipastikan  lahirnya  suatu  pesantren  berawal dari beberapa elemen dasar yang selalu ada di dalamnya. Secara garis besar pesantren memiliki Lima elemen pokok, yaitu: Kiai, Santri, Masjid/Surau/Mushalla, Pondok,  dan Pengajaran kitab-kitab Islam klasik.
Pondok pesantren mempunyai jenis-jenis yang berbeda, diantaranya;
(1) Pondok pesantren salafiyah  (klasik), (2) Pondok pesantren khalafiyah (modern) Pesantren yang telah memasukkan pelajaran- pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkannya atau membuka tipe sekolah-sekolah umum dalam lingkungan pesantren (Dhofier, 1982: 41), dan (3) Pondok pesantren semi berkembang. Pondok pesantren tipe ini adalah pondok pesantren yang di  dalamnya  terdapat  sistem  pendidikan  salaf  (klasikal)  dan sistem khalaf (modern) dengan kurikulum 90% agama dan 10% umum (Ridwan Nasir, 2005 : 87).
Adapun pesantren salafiyah adalah pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Sistem madrasah diterapkan untuk memudahkan sistem sorogan (bahasa jawa yang berarti menyodorkan) yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian, tanpa mengenalkan pengajaran  pengetahuan  umum.  (Yasmadi, 2002:70)
Pesantren model ini mempunyai karakteristik di antaranya; pengajian  hanya  terbatas  pada  kitab-kitab  kuning  (klasik), intensifikasi musyawarah atau bahtsul masa’il, berlaku sistem halaqah, pakaian, tempat, dan lingkungannya mencerminkan masa lalu, dan kultur paradigma berpikiran didominasi oleh term-term klasik.
Ada beberapa kelebihan dari pesantren model ini, yaitu semangat mengarungi hidup yang luar biasa, mental kemandirian yang  tinggi,  terjaga  moralitas  dan  mentalitasnya  dari  virus modernitas, mampu menciptakan insan yang mampu untuk menghadapi hidup dengan tanpa formalitas ijazah, tumbuhnya mental enterpreneurship (kewirausahaan) dan berani sakit dan menderita demi suksesnya sebuah cita-cita. (Saiful Huda, dkk, 2003: 8)
C.    Kurikulum Pesantren Salafiyah
Kurikulum pesantren salafiyah ditinjau dari mata pelajaran yang diberikan secara formal oleh pengasuh atau kyai, maka pelajaran yang diberikan merupakan bagian kurikulum yang berkisar pada ilmu pengetahuan agama dan segala vak-nya. Terutama pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan bahasa arab (‘ilmu al-sharaf, al-nahwu dan ‘ilmu al-alat lainya), sedangkan yang berhubungan dengan syari’at (‘ilmu fiqih, dari yang menyangkut hal ibadat sampai pada hal mu’amalat), ilmu yang berkaitan dengan keal-qur’anan serta tafsir-tafsirnya, ‘ilmu al-hadits beserta mustalah al-hadits, begitu juga ada ‘ilmu al-kalam, al-tauhid, ada juga pelajaran mantiq (logika), tasawwuf dan tarikh.[10]
Menurut Abdurrahman Wahid, kurikulum yang berkembang dipesantren memperlihatkan pola yang tetap, pola tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
1.    Kurikulum itu ditujukan untuk mencetak ulama di kemudian hari
2.    Struktur kurikulum itu berupa pengajaran ilmu pengetahuan agama dalam segenap tingkatannya dan pemberian pendidikannya dalam bentuk bimbingan kepada santri secara lansung dari kyai/gurunya
3.    Secara universal, bahwa kurikulum pendidikan pesantren bersifat fleksibel, dalam artian setiap santri mempunyai kesempatan menyusun kurikulumnya sendiri atau sesuai dengan kebutuhannya.[11]
Standar pokok yang menjadi tolak ukur dalam mempolakan suatu kurikulum adalah materi pelajaran yang bersifat intrakurikuler dan metode yang disampaikan dalam dunia pesantren. Adapun pola pendidikan pesantren dari segi kurikulumnya, menurut Haidar ada beberapa pola diantaranya;[12]
1.    Pola I, materi pelajaran yang diberikan di pesantren adalah mata pelajaran yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Adapun metode penyampaiannya dengan wetonan dan sorogan, tidak memakai sistem klasikal. Santri dinilai dan diukur berdasarkan kitab yang mereka baca, mata pelajaran umum tidak diajarkan, tidak mementingkan ijazah, tetapi yang paling penting adalah pengalaman ilmu-ilmu agama yang mereka harapakan dari kajian melalui kitab-kitab klasik tersebut. Pola ini yang sering disebut pesantren salafiyah.
2.    Pola II, dalam proses belajar mengajar dilaksanakan secara klasikal, dimana diberikan materi keterampilan dan pendidikan berorganisasi. Pada tingkat tertentu santri diberi tambahan ilmu pengetahuan. Santri di bagi beberapa jenjang pendidikannya mulai dari tingkat ibtidaiyah, tsanawiyah,‘aliyah. Adapun metode yang digunakan adalah sorogan, wetonan, hafalan dan musyawarah (batsumasa’il).
3.    Pola III, dalam pola ini materi pelajaran telah dilengkapi dengan pelajaran umum dan ditambah aneka macam pendidikan, seperti; keterampilan, olahraga, kesenian dan pendidikan berorganisasi.
4.    Pola IV, pola ini lebih menitik beratkan pada pelajaran keterampilan selain pelajaran agama. Dimana keterampilan diberikan dengan tujuan sebagai bekal kehidupan santri setelah lulus dari pesantren.
Kapasitas dan kecenderungan kyai merupakan faktor yang menentukan dalam pengembangan kurikulum. Ilmu-ilmu yang diajarkan di pesantren ialah ilmu-ilmu yang telah di kuasai oleh seorang kyai. Cukup dapat dipahami bahwa kondisi pendidikan pesantren diorientasikan pada ibadah kepada Allah dan serangkaian amalan yang mendukungnya.
Pada abad 19 M, sulit ditemukan rincian materi pelajaran di pesantren. Hingga kurikulum pesantren menjadi bertambah luas dengan adanya penambahan ilmu-ilmu yang masih merupakan elemen dari materi pelajaran yang sudah diajarkan, seperti Al-qur’an dengan tajwid dan tafsirnya, ‘aqaid dan ilmu kalam, fiqih dan ushul fiqih serta qawa’id al-fiqih, hadits dengan musthalah hadits, bahasa arab dengan ilmu alatnya seperti; nahwu sharaf, bayan, ma’ani, ‘arudh, dan lain-lain. Tidak semua pesantren mengajarkan ilmu tersebut secara ketat, karena beberapa pesantren lainnya dalam menerapkan kombinasi ilmu yang berbeda-beda, karena belum ada standardisasi kurikulum.[13]
Studi-studi tentang pesantren tidak menyebut kurikulum yang baku, hal ini dapat dipahami karena pesantren sesungguhnya merupakan lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang bebas dan otonom, dari segi kurikulum pesantren diberi kebebasan untuk menyusun dan melaksanakan kurikulum pendidikan secara bebas tanpa adanya pemaksaan.
Secara umum kurikulum pendidikan pesantren meliputi; Materi (Bidang Studi), Kitab-Kitab yang Dijadikan Refrensi, Metode Pembelajaran Dan Sistem Evaluasi.
1.    Bidang Studi yang Diajarkan dalam Pesantren Salafiyah
Pada umumnya pembagian keahlian di lingkungan pesantren telah melahirkan produk-produk pesantren yang berkisar pada bidang-bidang studi; Nahwu-Sharaf, Fiqih, ‘Aqa’id/Tauhid, Tasawwuf/Akhlak, Tafsir, Hadits, dan lain-lain.[14]
a)    Nahwu-Sharaf
Istilah Nahwu-sharaf ini mungkin bisa diartikan sebagai gramatika bahasa Arab. Pengajaran  nahwu-sharaf ini bertujuan agar santri mampu membaca dan memahami kitab-kitab klasik atau yang sering kita kenal dengan kitab kuning atau kitab Arab gundul (tanpa tanda baca).
b)   Fiqih
Fiqih merupakan sekumpulan hukum amaliah (sifatnya akan diamalkan) yang disyariatkan dalam Islam, atau pengetahuan tentang hukum agama lainnya.
c)    ‘Aqaid/Tauhid
Bentuk plural dari ‘aqidah dalam bahasa populernya “keyakinan atau kepercayaan”. ‘Aqaid meliputi segala hal yang bertalian dengan kepercayaan dan keyakinan seorang muslim, atau ushuluddin (bidang pokok-pokok agama), seperti ilmu tauhid.
d)   Tasawwuf
Tasawwuf adalah “Dawamul Ubudiyati Dzahiron Wa Bhatinan Maa’ Dawami Huduril Qolbi Maa’ Allah”. Menurut Syaikhul Islam Zakaria al-Anshory tasawwuf adalah ilmu yang menerangkan hal-hal tentang cara mensucikan jiwa, memperbaiki akhlak, dan pembinaan kesejahtraan lahir dan batin untuk mencapai kebahagiaan abadi.
e)    Tafsir
Tafsir adalah ilmu yang berisi tentang penjelasan-penjelasan ayat al-Quran. Bidang inilah yang paling luas daya cakupannya, sesuai dengan daya cakup kitab suci yang mampu menjelaskan totalitas ajaran Islam. Atau disebut juga nilai universalitas Al-qur’an.
f)    Hadits
Nurcholish Madjid berpendapat, produk pondok pesantren yang menyangkut keahlian dalam hadits jauh relatif kecil bila dibanding dengan bidang lainnya. Padahal penguasaan hadits jauh lebih penting, mengingat hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an.
2.    Kitab-Kitab yang di Ajarkan di Pesantren Salafiyah.[15]
Adapun kitab-kitab yang biasa diajarkan dalam lingkungan pesantren-pesantren salafiyah, antara lain;
a)    Dalam cabang ilmu Nahwu-Sharaf:
Untuk nahwunya; al-Jurumiyah, al-Kawakib, Qatrun al-Nada, Ibnu ‘aqil, Alfiyah (nazham), dan untuk sharafnya; Kitab al-Tashrif, Syarah al-kailani, al-Maqsud (nazham), dan Imriti (nazham), dan lain-lain.
b)   Dalam cabang ilmu Fiqih:
Syarah Sittin Masalah, Fath’u al-Qarib (al-Bajuri), fath’u al-Mu'in (I’anatu al-thalibin), al-Iqna’, fath’u al-Wahhab, ‘Uqudu al-Lujain, Muhadzab, Bugyat’u al-Mustarsyidin, dan Kifaytu al-Akhyar. Untuk kelengkapan ilmu fiqih biasanya juga dikenal ilmu ushul fiqih, diantara kitab-kitabnya: al-Mabadi al-Awwaliyyah, al-Waraqat, dan Bidayatu’u al-Mujtahid.
c)    Dalam cabang ilmu ‘Aqaid/Tauhid:
Sifat dua puluh (arab melayu), Nuru al-Zhulam, Aqidatu al-A’waam (nazham), Kifayatu al-Awam, al-Syarqawi, Jauharu al-Tauhid, Tuhfatu al-murid, Fathu al-Majid.
d)   Dalam cabang ilmu Tasawwuf/Akhlak:
Akhlaqu li al-Banat, Akhlaqu li al-Banin, Ta’limul al-Muta’allim, Maraqi al-Ubudiyyah, Kifayat al-Atqiya, Siraj al-Thalibin, Minhaju al-A’bidin,  Nasha’ih’u al-Diniyah, Irsyadu al-‘Ibad, Tanbihu al-Ghafilin, al-Hikam, Risalatu al-Muawanah, Bidayatu al-Bidayah, dan ihya ‘ulumu al-din.
e)    Dalam cabang ilmu Tafsir :
Tafsir al-Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Marah Labid, Tafsir al-Qurtubi, Tafsir al-Munir, Tafsir Maraghi, Tafsir al-Manar dan Jami’u al-Bayan.
f)    Dalam cabang ilmu Hadits :
Arba’in al-Nawawiyah, Bulughu al-Maram, Riyadhu al-Shalihin, al-Azkar al-Nawawiyah, Shahih Muslim, Shahih-Bukhari, Tajridu al-Syarih, Majlishu al-saniyyah.
g)   Dalam cabang ilmu Balaghah :
Balaghah al-wadhihah, Jauharu al-Balaghah, dan Jauharu al-Maknun.
h)   Dalam cabang ilmu Faraidh :
Isaful haith (arab melayu), Tuhfat al-Saniyah, Syarah Matan Rahbiyah, dan lain-lain
i)     Dalam cabang ilmu Tarikh :
Khulasah Nurul al-Yaqin, Nurul al-Yaqin, Muhammad Rasulullah, Tarihk Khulafa, dan lain-lain.
Setelah melihat bidang studi, dan kitab-kitab yang diajarkan, kami berpendapat bahwa ada ketidakseimbangan antara kajian keagamaan dan kajian umum. Memang pada dasarnya pesantren berhak untuk mempertahankan fungsi pokoknya, yaitu sebagai tempat tafaqquhfiddin (pendalaman agama). Setidakanya dengan adanya pembelajaran ilmu yang berimbang antara agama dan umum, dapat memberdayakan pemikiran santri menjadi berkembang lebih luas.
Selaian itu, perlu adanya tinjauan ulang pada ajaran-ajaran agama yang diberikan dalam lingkungan pendidikan pesantren yang sehingga lulusan-lulusannya mampu memberikan jawaban yang komprehensif atas persoalan hidup umat Islam. Misalnya Kajian fiqih yang hanya menganut satu madzhab dapat berakibat membelenggu kreativitas berfikir dan mempersempit pemahaman atas elastisitas suatu hukum Islam. Alangkah baiknya jika kita menambahkan pada kurikulum pesantren dengan mengenalkan perbandingan madzhab, memang pada dasarnya masyarakat Indonesia mengacu pada madzhab syafi’i dalam hal fiqihnya. Namun akan lebih baik jika kita melihat persoalan di masyarakat dengan menggunakan pendekatan empat madzhab. Sehingga tidak mudah menyalahkan orang lain.
3.    Metode Pembelajaran dalam Pesantren Salafiyah.[16]
Pada pesantren salafiyah, metode yang digunakan cukup bervariasi, ada perbedaan antara satu pesantren dengan pesantren lainnya. Berikut beberapa metodenya;
a)      Mencatat dan Menghafal
Metode ini berlaku terutama pada tahun-tahun pertama santri berada di pesantren. Di wajibkannya santri mencatat di maksudkan agar tulisan santri bertambah baik dari hari ke hari dan terbiasa menulis huruf Arab. Dengan mencatat santri juga akan mudah mengingat, kemudian menghafalkannya. Jika di pagi hari siswa mencatat pelajaran, di sore harinya mereka mengahfalkannya di depan ustadz sebelum melanjutkan ke materi berikutnya, begitu pula sebaliknya sore mencatat, paginya menghafal. Begitulah seterusnya.
Pada metode ini, sering mengabaikan pemahaman santri terhadap apa yang dihafalkannya, akibatnya, proses penghafalan sedikit lebih sulit dibandingkan menghafal pelajaran yang sudah ia pahami, dan ini juga mengakibatkan kurangnya motivasi mereka dalam menghafal, karena mereka tidak faham apa yang mereka hafal dan tidak mengerti kegunaan materi yang mereka hafal.
b)      Kaji Duduk
Istilah kaji duduk dipakai oleh masyarakat Kalimantan selatan untuk menyebut metode pembelajaran yang digunakan di pondok pesantren salafiyah. Kaji duduk bermakna mengkaji sambil duduk di lantai tanpa menggunakan kursi ataupun bangku seperti di kelas formal. Kalau dalam banyak literatur tentang pesantren metode ini disebut dengan dua istilah; 1) Sorogan, dan 2) Bandungan (Sunda; di Jawa dikenal dengan istilah bandongan atau wetonan). Sistem sorogan disebut pula dengan sistem individual (individual learning). Sedangkan, sistem bandungan (bandongan atau wetonan) disebut pula dengan sistem kolektif (collectival Learning atau together learning).
1)   Sorogan
Sistem sorogan adalah sistem membaca kitab secara individul, atau seorang murid nyorog (menghadap guru sendiri-sendiri) untuk dibacakan (diajarkan) oleh gurunya beberapa bagian dari kitab yang dipelajarinya, kemudian sang murid menirukannya berulang kali.  Pada prakteknya, seorang murid mendatangi guru yang akan membacakan kitab-kitab berbahasa Arab dan menerjemahkannya ke dalam bahasa ibunya (misalnya: banjar). Pada gilirannya murid mengulangi dan menerjemahkan kata demi kata (word by word) sepersis mungkin seperti apa yang diungkapkan gurunya. Bisa juga santri langsung membaca suatu kitab di hadapan kiyai, kemudian bila ada yang salah kiyai langsung membetulkannya.
Untuk metode ini dirasakan terlalu menguras waktu hingga tidak efesien, dan lebih tepat digunakan untuk santri yang kelompok belajarnya tidak banyak dan santri yang sudah tahap muntahi (yang sudah lama belajar).
2)   Bandungan atau Wetonan
Sistem bandungan adalah sistem transfer keilmuan atau proses belajar mengajar di mana kyai atau ustadz membacakan kitab, menerjemah dan menerangkan kepada sekelompok santri. Sedangkan santri atau murid mendengarkan, menyimak dan mencatat apa yang disampaikan oleh kyai. Kelompok kelas dari sistem bandungan ini disebut halaqoh yang artinya lingkaran murid yang belajar dibawah bimbingan seorang guru atau kyai. Dalam sistem ini juga, metode-metode yang lain bisa diterapkan seperti; ceramah, terjemah, tanya jawab, muzakarah (bahtsul masail).
Setelah kita melihat sistem dan metodologi pembelajaran di atas, dapat kita simpulkan bahwa pesantren salafiyah masih menggunakan system dan metode yang konvensional. Sebaiknya pesantren mengupayakan pengembangan sistem dan metodologi pembelajarannya, setidaknya agar proses pembelajaran lebih efektif dan efisien. Pengembangan ini dapat berarti pemberdayaan dan pemerkayaan sistem dan metodologi.
Selain itu, dengan memperhatikan fungsi dan peranan pondok pesantren yang sangat penting dalam pembangunan, maka pondok pesantren sebagai   lembaga   pendidikan   agama   Islam   akan   lebih   mampu berperan  apabila  sistem  dan  metode  pendidikan  atau  pengajaran dapat  dikaitkan  dengan  tuntutan  perkembangan  ilmu pengetahuan atau teknologi modern serta tuntutan dinamika masyarakat, agar setelah mereka lulus, mereka mendapat pengakuan dari masyarakat.
4.    Sistem Evaluasi Pembelajaran di Pesantren Salafiyah.[17]
Istilah evaluasi atau penilaian (evalution), merupakan suatu proses untuk menentukan nilai dari suatu kegiatan tertentu, dengan tujuan untuk mengetahui seberapa jauh hasil belajar yang dicapai selama proses pendidikan atau pembelajaran yang telah dilaksanakan, apakah hasil yang dicapai sesuai dengan yang diharapkan atau tidak, Selain itu, juga untuk mengetahui apakah suatu mata pelajaran yang diajarkan dapat dilanjutkan dengan bahan yang baru atau mengulangi kembali. Dan juga untuk mengetahui taraf efesiensi metode yang digunakan dalam proses pembelajaran. Semua itu untuk perbaikan dalam pembelajaran berikutnya.
Dalam dunia pesantren salafiyah evaluasi dilakukan setiap selesai mempelajari suatu fan atau mata pelajaran yang langsung dikelola oleh ustazd yang bersangkutan, sehingga santri dinyatakan layak untuk naik ke kitab selanjutnya. Pada evaluasi semacam ini sepertinya evaluasi hanya untuk mengukur sejauh mana kemampuan anak, dan mengabaikan tujuan evaluasi yang lain, misalnya; untuk perbaikan proses pembelajaran bagi guru, Untuk mengetahui efektifitas metode yang digunakan guru, dan lain-lain.
Selain itu, prinsip-prinsip evaluasi juga kurang diperhatikan diantaranya:
a)    Prinsip integralitas, evaluasi hasil bealajar yang tidak hanya menyangkut konsep-konsep, tetapi meliputi; apresiasi, sikap minat, pemikiran kritis serta penyesuain diri baik personal maupun sosial.
b)   Prinsip kontinuitas, diharapkan guru maupun ustdaz dalam menilai tidak hanya sekali saja, melainkan berkesinambungan selama dalam proses pembelajaran.
Oleh karena itu, sebenarnya evaluasi di pesantren bisa dilakukan dengan dua macam metode:
a)      Metode test, yaitu suatu cara penilaian yang berbentuk suatu tugas yang harus dikerjakan oleh santri, bisa dalam bentuk ujian tulis meliputi; essay, multiple choice (pilihan ganda), maching (menjodohkan), maupun completation (melengkapi), ataupun lisan seperti; hafalan, praktek, maupun penugasan (sesuai dengan kebijakan para ustad atau ustadzah).
b)      Metode non-test, baik dalam bentuk observasi. Dengan tujuan agar para santri mempu mempraktekkan suatu ilmu yang sudah dikaji, dalam bentuk observasi santri sudah dilengkapi dengan instrumen.
5.    Program/Kegiatan Ekstra Kurikuler
Kurikulum dipahami tidak hanya terbatas pada sejumlah mata pelajaran, tetapi meliputi semua kegiatan dan pengalaman yang menjadi tanggung jawab sekolah. Dalam hal ini tidak dipisahkan antara kegiatan intrakulikuler dan kegiatan ekstrakulikuler.
Menurut Hafni Lajdid, kegiatan ekstra kurikuler merupakan kegiatan belajar yang dilakukan diluar jam pelajaran yang dilaksnakan disekolah utuk lebih memperluas wawasan atau kemampuan, peningkatan dan penerapan nilai pengetahuan dan kemampuan yang telah dipelajari dari berbagai mata pelajaran. Pada pondok pesantren salafiyah Program/Kegiatan Ekstra Kurikuler meliputi;
a)      Pengajian kitab di mushalla atau di rumah ustadz
b)      Kursus bahasa asing
c)      Muhadharah
d)     Pembacaan syair-syair maulid.
e)      Tahfizh al-Quran dan seni baca al-Quran
f)       Seni khat dan kaligrafi
g)      Seni bela diri, olahraga, dan lain-lain
6.    Kurikulum Tersembunyi
Kurikulum tersembunyi adalah merupan bagian dari kurikulum, sebagaiamana sudah dijelaskan sebelumnya, kurikulum tersembunyi adalah segala kegiatan atau aktifitas yang tidak berstruktur atau tidak dirancang dalam kurikulum, yang berlaku ditempat pertemuan pelajar seperti mushalla, asrama, kantin, dan perpustakaan. Dalam pesantren salafiyah “hidden curriculum” dapat digambarkan sebagai berikut;
a)      Pendidikan Spritual, seperti; pelaksanaan shalat wajib berjamaah, pembacaan al-Quran dan surah-surah tertentu (yasin, waqi’ah, muluk), pembacaan wirid, dan dzikir, pembacaan shalawat, pembacaan burdah, dalailul khairat, ratib-ratib, tahlil, dan puasa-puasa sunat.
b)      Pendidikan disiplin, seperti wajib mentaati peraturan atau tata tertib di pondok.
c)      Pendidikan kebersihan dan kesehatan, seperti membersihkan asrama, pekarangan, dan lingkungan pondok secara gotong royong atau bergiliran yang diatur oleh organisasi santri.
Selain itu masih banyak lagi pendidikan-pendidikan lainnya dari kurikulum tersembunyi, seperti; Pendidikan kebersamaan, toleransi, kemandirian, kepemimpinan, dan lain-lain.
D.    Proses Pembelajaran Pesantren Salafiyah
Sebagaiamana yang sudah dikemukakan diatas kurikulum ada empat dimensi, salah satunya adalah bahwa kurikulum sebagai kegiatan (proses), yaitu serangkaian pengalaman nyata yang dialami peserta belajar dengan bimbingan sekolah, ini meliputi;
1.      Perencanaan dan Persiapan Mengajar
Salah satu tugas penting guru adalah  membuat perencanaan dan persiapan mengajar. Hal ini perlu dilakukan agar efektifitas dan efisiensi pembelajaran dapat dicapai. Hamzah Uno, dkk. menyebutkan bahwa perlunya perencanaan dimakudkan agar dapat dicapai perbaikan pembelajaran. Upaya perbaikan ini dilakukan dengan asumsi bahwa untuk memperbaiki kualitas pembelajaran perlu diawali dengan perencanaan.[18] Abdul Majid juga menyebutkan bahwa perencanaan pembelajaran memainkan peranan penting dalam memandu guru untuk melaksanakan tugas sebagai pendidik dalam melayani kebutuhan belajar siswanya.[19] Dibawah ini akan digambarkan bagaimana perencanaan dan persiapan guru mengajar pada pondok pesantren salafiyah.
   Pada pesantren salafiyah, guru-guru belum memiliki perencanaan atau persiapan mengajar secara  tertulis. Terkait dengan strategi apa yang akan digunakan dalam kegiatan belajar mengajar, bagaimana teknis evaluasinya, dan apa saja media pembelajarannya, ada didalam benak masing-masing guru, dan banyak dipengaruhi oleh pengalaman guru mereka ketika mereka masih menjadi santri. Sedangkan kitab pegangan dan mata pelajaran apa yang akan diajarkan, serta kelompok mana yang akan diajar, waktu dan tempat pembelajaran, para guru sudah bisa mengetaui dari Bagian Pengajaran Pondok Pesantren. Dalam hal ini yang pertama-tama dilakukan guru adalah; 1) menyiapkan kitab pegangan sesuai degan mata peajaran yang akan diajarkan. Kemudian 2) menentukan batas awal dan batas akhir suatu materi pelajaran yang terdapat didalam kitab pegangan untuk suatu pertemuan/tatap muka.
   Secara umum persiapan yang dilakukan oleh guru sebelum mengajar adalah sebagai berikut: (1) menelaah materi suatu kitab tertentu yang akan diajarkannya kepada santri dalam pertemuan/tatap muka baik dikelas, mushalla maupun diruang belajar  lainnya; (2) Menelaah atau mempelajari kitab-kitab lain yang punya keterkaitan dengan persoalan serupa terhadap materi yang akan diajarkan. Dalam hal ini mereka membuka kembali kitab-kitab tertentu minimal satu tingkat di atasnya, dan kitab-kitab yang menjadi rujukan ustadz (3) Membuat catatan-catatan khusus tentang masalah-masalah yang dianggap penting dari hasil penelaahan terhadap kitab-kitab yang akan diajarkan; (4) Merancang dan mempersiapkan alat bantu yang dibutuhkan untuk mengajarkan materi pelajaran.
   Dengan demikian, pada dasarnya guru-guru pada pondok pesantren salafiyah sudah melakukan pesiapan mengajar, hanya saja persiapan itu tidak tertulis, tentu sulit untuk dipelajari apalagi untuk dievaluasi. Maka idealnya perencanaan atau persiapan mengajar dibuat oleh guru secara tertulis walaupun sesederhana mungkin. Dengan kata lain setiap guru yang akan mengajar harus mempunyai perencanaan dan persiapan mengajar yang matang, baik dalam lingkup materi ajar maupun langkah-langkah konkrit yang akan ditempuh selama mengajar. Dalam konteks ini para ustadz di Pondok Pesantren diwajibkan membuat perencanaan mengajar yang lazim disebut “I’dâd al Tadrîs”.  
    Tapi terlepas dari itu, apapun bentuk perencanaan mengajar yang dibuat, yang jelas perencanaan itu amat penting bagi guru, kalau tidak, bukan hanya santri yang tidak terarah dalam proses belajarnya tetapi guru juga tidak akan terkontrol.
2.      Pengelolaan Kelas
Pengelolaan kelas merupakan salah satu bagian penting dalam proses pembelajaran, tidak terkecuali di lembaga pendidikan pesantren salafiyah. Sebab kemampuan memberikan pelajaran saja tanpa dibarengi dengan kemampuan mengorganisasi kelas, tidak akan memberi prestasi belajar seperti yang diharapkan.[20]
Pengelolaan kelas di pesantren salafiyah menerapkan naik kitab, di mana kelas hanya merupakan tempat belajar. Dalam hal ini pengelolaan kelas berada  di bawah tanggung jawab seorang ketua atau coordinator. Pola seperti ini pengelolaan kelas bersifat sederhana di mana tugas seorang ketua atau koordinatur hanya memegang absen hadir, dan  mengurus hal-hal teknis lainnya terutama yang berhubungan dengan kelompok belajarnya. Kelas sebagai tempat belajar tidak memiliki struktur formal seperti wali kelas maupun struktur kelas. Hanya saja guru yang mengajar di kelas atau kelompok belajar tersebut, di samping mengajar ia juga berperan sebagai pembimbing.  Sebagai pengajar, guru terikat dengan waktu dan bahan ajar. Sebaliknya sebagai pembimbing guru tidak terikat dengan waktu dan bahan ajar. Sesekali ia bisa mengontrol kelompok belajar yang di bimbingnya, jika kelompok belajar tersebut diminta untuk mengulang pelajaran di luar jam yang ditentukan. Di sisni peran guru tidak lagi mengajar tapi membimbing santri yang sedang belajar, guru dapat melakukan banyak hal seperti meluruskan bacaan santri terhadap suatu kitab, membetulkn hafalan santri, atau menjawab pertanyaan santri yang belum faham terhadap pelajaran yang sedang dibaca.
Hal ini akan berbeda jika di bandingkan dengan sistem klasikal, selain santri naik kelas pada priode tertentu, pengelolaan kelas lebih komplek karena berada di bawah tanggung jawab wali kelas dan organisasi kelas. Implikasi dari pengelolaan kelas seperti ini adalah terciptanya kerja sama antara guru (terutama wali kelas) dengan santri. Disadari atau tidak santri sudah mulai diajarkan berorganisasi pada livel kelas dan ditanamkan sense of responsibility terhadap kelas yang ditempatinya.
3.      Sarana dan Media Pembelajaran
Dalam proses belajar mengajar kehadiran media mempunyai arti yang cukup penting, seperti ketidak jelasan bahan yang disampaikan dapat dibantu dengan menghadirkan media sebagai perantara, kerumitan  bahan yang disampaikan kepada santri dapat disederhanakan dengan bantuan media, dan lain-lain.
Pada pesantren salafiyah sarana yang digunakan adalah mushalla, ruang kelas, rumah ustazd, dan rumah kiyai. Media yang digunakan papan tulis dan kapur atau spidol. Hal ini sangat berbeda dengan pesantren khalafiyah yang lebih memanfaatkan teknologi, seperti laboratorium bahasa, dan untuk medianya menggunakan audio visual. Untuk pesantren salafiyah sebenarnya bisa juga mengupayakan tersedianya sumber belajar dan media pendidikan yang berbasis teknologi, saat ini sudah banyak hadist-hadist yang telah di-CD-kan, atau tafsir dan kitab-kitab lainnya yang termuat dalam program maktabah syamilah, selain memudahkan bagi ustadz juga memperkaya sumber belajar bagi santri.
Pondok pesantren harus memandang bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, sebagai sesuatu yang harus diantisipasi dengan memahami, kemudian mengambil langkah memperbaharui sistem dengan mempertahankan budaya santri yang ada, tetapi juga memanfaatkan kemajuan yang terjadi dengan menciptakan alat-alat pembelajaran yang sesuai dengan kemajuan zaman, karena agama menganjurkan supaya kita melakukan pembelajaran sesuai dengan zamannya (sholihun li kuli makan wa zaman).
Maka sudah saatnya pesantren mengadopsi hal-hal yang baru (khalafiyah) namun tetap memepertahankan nilai-nilai otentik pesantren (salafiyah), dan sekiranya suatu saat nanti terjadi proses konvergensi antara paradigma-paradigma pendidikan umum Indonesia dengan sistem tradisional yang merupakan wajah asli dari paradigma pendidikan pesantren itu sendiri. Sehingga dunia pesantren tidak akan tertinggal, dengan lembaga pendidikan lainnya, dan semuanya tetap terbingkai dalam nilai-nilai keislaman.
4.      Sistem Pembelajaran
Sistem pembelajaran pada pesantren salafiyah adalah sistem non klasikal atau system naik kitab, dalam sistem ini keberhasilan belajar diukur dari menguasai tidaknya seorang santri terhadap suatu kitab yang dipelajari melalui ujian naik kitab. Ketuntasan belajar sangat ditekankan dalam pola ini. Kelaspun hanya berfungsi sebagai tempat pembelajaran. Oleh karena itu, dalam hal tempat pembelajaran sistem ini sebenarnya lebih luwes dan flesibel dibandingkan dengan sistem klasikal. Keberadaan santri dalam suatu kelompok belajar tergantung pada berapa lama ia mampu menguasai suatu kitab yang diajarkan ustadz.
Pada sistem ini, ketuntasan belajar untuk menguasai suatu kitab dapat direalisasikan, namun demikian, batas waktu berapa lama seorang santri dapat menyelesaikan suatu kitab tertentu tidak ada kejelasan dan kepastian sehingga tidak efisien.




BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.      Kurikulum adalah rencana tertulis tentang kemampuan yang harus dimiliki berdasarkan standar nasional, materi yang perlu dipelajari, dan pengalaman belajar yang harus dijalani untuk mencapai kemampuan tersebut, dan evaluasi yang perlu dilakukan untuk menentukan tingkat pencapaian kemampua peserta didik dalam mengembangkan potensi dirinya pada satuan pendidikan tertentu.
2.      Kurikulum ada empat dimensi yakni: 1) kurikulum sebagai ide atau gagasan, 2) kurikulum sebagai rencana tertulis, 3) kurikulum sebagai kegiatan (proses), dan 4) kurikulum sebagai hasil belajar
3.      Pesantren salafiyah adalah pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren.
4.      Secara umum kurikulum pendidikan pesantren meliputi; Materi (Bidang Studi), Kitab-Kitab yang Dijadikan Refrensi, Metode Pembelajaran Dan Sistem Evaluasi.
5.      Program ekstra kurikuler merupakan kegiatan belajar yang dilakukan diluar jam pelajaran yang dilaksnakan disekolah utuk lebih memperluas wawasan atau kemampuan, peningkatan dan penerapan nilai pengetahuan dan kemampuan yang telah dipelajari dari berbagai mata pelajaran..
6.      Kurikulum tersembunyi adalah segala kegiatan atau aktifitas yang tidak berstruktur atau tidak dirancang dalam kurikulum, yang berlaku ditempat pertemuan pelajar.
7.      Kurikulum sebagai kegiatan (proses), yaitu serangkaian pengalaman nyata yang dialami peserta belajar dengan bimbingan sekolah.
8.      Proses pembelajaran pesantren salafiyah meliputi; Perencanaan dan Persiapan Mengajar, Pengelolaan Kelas, Sarana dan Media Pembelajaran, Sistem Pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran  Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2005
Abdurrahman Wahid, Kurikulum Pesantren dan Penyediaan Lapangan KerjaDalam Bunga Rampai Pesantren”, Jakarta, CV Dharma Bhakti, tt
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Logos wacana Ilmu, 2001
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam,Bandung, Rosdakarya, 1994
AninNurhayati, Kurikulum Inovasi, Telaah Terhadap pengembangan kurikulum Pendidikan Pesantren, Yogyakarta, Teras, 2010
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta, Balai Pustaka, 2005
Dr. Salamah, M. Pd,  Pengembangan Model Kurikulum Holistik Pendidikan Agama Islam Pada Madrasah Tsanawiyah, Yogyakarta, Aswaja Pressindo, 2016
Drs. H.M. Sulthon Masyhud, M.Pd. dan Drs. Moh. Khusnurdhilo, M. Pd. Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta, Diva Pustaka, 2004
Drs. Yasmadi, M.A, Modernisasi Pesantren, Jakarta, Ciputat Press, 2002
Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah , Yogyakarta, Tiara Wacana, 2001
Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta,  Paramadina, 1997
Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2006
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Pesantren : Dari Tarnsformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta, Erlangga, 2005
Syaiful Sagala, konsep dan makna pembelajaran, Bandung, Alfabeta, 2006
Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nur Cholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, Jakarta, Ciputat Press, 2002
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren , Jakarta, LP3ES, 2011




[1] Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah , (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), h. 9
[2] Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nur Cholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h.78
[3] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 160
[4] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam, (Bandung: Rosdakarya, 1994), hal.83
[5] AbuddinNata, Filsafat Pendidikan Islam , (Jakarta: Logos wacana Ilmu, 2001), h.127
[6] Hendyat Soetopo, dan Wasty Soemanto, Pembinan dan Pengembangn Kurikulu,  h 15.
[7] Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 91
[8] Salamah, Pengembangan Model Kurikulum Holistik Pendidikan Agama Islam Pada Madrasah Tsanawiyah, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2016), h. 15-16
[9] Ibid. h. 15
[10] Anin Nurhayati, Kurikulum Inovasi, Telaah Terhadap pengembangan kurikulum Pendidikan Pesantren, (Yogyakarta: Teras, 2010), h. 64
[11] Abdurrahman Wahid, Kurikulum Pesantren dan Penyediaan Lapangan KerjaDalam Bunga Rampai Pesantren” , (Jakarta: CV Dharma Bhakti, tt),  h.135
[12] Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi: Pesantren, Sekolah dan Madrasah, h. 32-34
[13] Prof. Dr. Mujamil Qomar, Pesantren : Dari Tarnsformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2005), h.110-112
[14] Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997). h. 7-12
[15] Drs. Yasmadi, M.A, Modernisasi Pesantren, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal.68-70
[16] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren , (Jakarta: LP3ES, 2011), h. 54
[17] Drs. H.M. Sulthon Masyhud, M.Pd. dan Drs. Moh. Khusnurdhilo, M. Pd. Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2004), h.104-105
[18] Hamzah Uno, dkk.,Perencanaan Pembelajaran Teori Dan Praktek, h. 5 Lihat juga Syaiful Sagala, konsep dan makna pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2006), h. 136
[19] Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran  Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, (Bandung: Remaja Rosdakarya,2005), h. 22
[20] Made Pidarta, Pengelolaan Kelas, (Surabaya: Usaha Nasional, tt), h. 5