Jumat, 23 Desember 2016

makalah teori belajar

Tags

BEBERAPA TEORI TENTANG BELAJAR



Oleh:
Wahyudin Noor (NIM: 1502521482)
Muhammad Ikhwan Fadilah (NIM: 1502521481)



TUGAS TERSTRUKTUR
MATA KULIAH
TEORI DAN PRAKTIK BELAJAR MENGAJAR



DOSEN PENGAMPU:
Dr. H. Ridhahani Fidzi, M.Pd


 












PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BANJARMASIN
2016



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Istilah belajar sebenarnya telah lama dan banyak dikenal. Bahkan pada era sekarang ini, hampir semua orang mengenal istilah belajar. Namun apa sebenamya belajar itu, rasanya masing-masing orang mempunyai tangkapan yang tidak sama. Sejak manusia ada, sebenarnya ia telah melaksanan aktivitas belajar.
Oleh sebab itu, kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa aktivitas itu telah ada sejak adanya manusia. Mengapa manusia melaksanakan aktivitas belajar ? Jawabannya adalah karena belajar itu salah satu kebutuhan manusia. Bahkan ada ahli yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk belajar. Oleh karena manusia adalah makhluk belajar, maka sebenarnya di dalam dirinya terdapat potensi untuk diajar.
Belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting dalam pembentukan pribadi dan perilaku individu. Salah satu definisi modern dari Gintings tentang belajar menyatakan bahwa belajar adalah pengalaman terencana yang membawa perubahan tingkah laku. Belajar dimanifestasikan dengan adanya perubahan tingkah laku, yaitu tingkah laku yang dapat diamati (Observable behavior).[1] Perubahan di sini menyangkut perubahan afektif, kognitif & psikomotor.
B.     Rumusan Masalah
Adapun masalah yang ingin diajukan  pada makalah ini yaitu sebagai berikut:
1.      Apakah belajar itu?
2.      Apakah belajar pasti menghasilkan perubahan perilaku?
3.      Apa saja perbedaan di antara jenis-jenis belajar ?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Belajar
Belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting dalam pembentukan pribadi dan perilaku individu. Nana Syaodih Sukmadinata menyebutkan bahwa sebagian terbesar perkembangan individu berlangsung melalui kegiatan belajar[2]. Banyak pakar belajar sejak dini mengemukakan bahwa tidak ada satu definisi belajar-pun yang dapat diterima banyak orang. Belajar merupakan salah satu topik paling penting dalam psikologi masa kini, namun belajar merupakan konsep yang sangat sulit untuk didefinisikan . Meskipun demikian beberapa ahli mencoba mendefinisikan belajar dengan asumsi bahwa definisi tersebut telah mengandung aspek-aspek utama belajar. Adapun definisi tersebut antara lain :
1.      Secara Etimologis
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, belajar memiliki arti “berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu”. Definisi ini memiliki arti bahwa belajar adalah sebuah kegiatan untuk mencapai kepandaian atau ilmu, yang merupakan usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya agar mendapatkan ilmu atau kepandaian yang belum dimiliki sebelumnya. Sehingga dengan belajar itu manusia menjadi tahu, mengerti, memahami, dapat melaksanakan dan memiliki sesuatu.
2.      Secara Terminologis
a.       Cronbach (1954)
Belajar yang terbaik adalah melalui pengalaman. Karena dengan pengalaman tersebut, pelajar menggunakan seluruh panca indranya.
b.      Kimble (1961)
Belajar adalah sebagai perubahan yang relatif permanen di dalam behavioral potentiality yang terjadi akibat dari praktik yang diperkuat.[3]

c.       Hilgard & Bower (1975)
Belajar adalah proses timbulnya suatu aktivitas ataupun bertambahnya suatu aktivitas, yang terjadi karena reaksi terhadap situasi yang dialami, sedangkan perubahan tadi bukan sebagai respon bawaan atau kematangan (maturity) atau keadaan sementara dari organisme. (misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya), jadi belajar adalah diperolehnya kebiasaan, pengetahuan dan sikap baru.[4]
d.      Morgan dkk (1984)
Belajar adalah setiap perubahan yang relatif permanen atau menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman atau latihan.
e.       Skinner (1985)
Belajar adalah “the teaching learning prosess” yakni bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi atau penyesuain tingkah laku yang berlangsung secara progresif.[5]
f.       Anderson (1995).
Belajar adalah suatu proses, yang mana perubahan-perubahan yang terjadi bersifat relatif permanen dalam potensi perilaku sebagai suatu akibat pengalaman.
g.      Moh. Surya (1997)
Belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya.[6]
h.      Thursan Hakim, Belajar Secara Efektif ( 2005 )
Belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir, dan lain-lain kemampuan
Maka dari pendapat para ahli pendidikan seperti tersebut diatas dapat simpulkan bahwa “belajar adalah suatu proses kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh seseorang secara sadar dalam berinteraksi dengan lingkungannya sehingga diperoleh kecakapan-kecakapan yang baru yang mengakibatkan terjadinya perubahan tingkah laku didalam dirinya berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan.
Belajar dimanifestasikan dengan adanya perubahan tingkah laku, yaitu tingkah laku yang dapat diamati (Observable behavior). Perubahan di sini menyangkut perubahan afektif, kognitif & psikomotor.
a.       Perubahan tersebut sifatnya relatif permanen, yaitu bertahan cukup lama, tetapi juga tidak menetap terus menerus, bisa berubah lagi dalam proses belajar selanjutnya.
b.      Perubahan tingkah laku tersebut merupakan hasil dari pengalaman atau latihan, terjadinya perubahan karena adanya unsur usaha atau pengaruh dari luar.
c.       Perubahan tersebut tidak harus segera nampak mengikuti pengalaman belajar itu, atau nampak pada saat itu juga, tapi dapat nampak pada saat lain.
B.       Perubahan Tingkah Laku
1.      Ciri – Ciri Dari Perubahan Tingkah Laku
Dari beberapa pengertian belajar tersebut diatas, kata kunci dari belajar adalah perubahan tingkah laku. Terbentuknya perilaku dapat terjadi karena proses kematangan dan dari proses interaksi dengan lingkungan. Proses interaksi dengan lingkungan inilah yang paling besar pengaruhnya terhadap perilaku manusia. Terbentuknya dan perubahan perilaku karena proses interaksi antara individu dengan lingkungan ini melalui suatu proses yakni proses belajar. Oleh sebab itu, perubahan perilaku dan proses belajar itu sangat erat kaitannya. Perubahan perilaku merupakan hasil dari proses belajar.
Dalam hal ini, Moh Surya (1997) mengemukakan ciri-ciri dari perubahan tingkah laku, yaitu :
a.       Perubahan yang disadari dan disengaja (intensional).
Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu yang bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan, misalnya pengetahuannya semakin bertambah atau keterampilannya semakin meningkat, dibandingkan sebelum dia mengikuti suatu proses belajar. Misalnya, seorang mahasiswa sedang belajar tentang psikologi pendidikan. Dia menyadari bahwa dia sedang berusaha mempelajari tentang Psikologi Pendidikan. Begitu juga, setelah belajar Psikologi Pendidikan dia menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan perilaku, dengan memperoleh sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang berhubungan dengan Psikologi Pendidikan.
b.      Perubahan yang berkesinambungan (kontinyu).
Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya. Begitu juga, pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah diperoleh itu, akan menjadi dasar bagi pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan berikutnya. Misalnya, seorang mahasiswa telah belajar Psikologi Pendidikan tentang “Hakekat Belajar”. Ketika dia mengikuti perkuliahan “Teori dan Praktik Belajar Mengajar”, maka pengetahuan, sikap dan keterampilannya tentang “Hakekat Belajar” akan dilanjutkan dan dapat dimanfaatkan dalam mengikuti perkuliahan “Teori dan Praktik Belajar Mengajar”.
c.       Perubahan yang fungsional.
Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup individu yang bersangkutan, baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa mendatang. Contoh: seorang mahasiswa belajar tentang psikologi pendidikan, maka pengetahuan dan keterampilannya dalam psikologi pendidikan dapat dimanfaatkan untuk mempelajari dan mengembangkan perilaku dirinya sendiri maupun mempelajari dan mengembangkan perilaku para peserta didiknya kelak ketika dia menjadi guru.
d.      Perubahan yang bersifat positif.
Perubahan perilaku yang terjadi bersifat normatif dan menujukkan ke arah kemajuan. Misalnya, seorang mahasiswa sebelum belajar tentang Psikologi Pendidikan menganggap bahwa dalam dalam Proses Belajar Mengajar tidak perlu mempertimbangkan perbedaan-perbedaan individual atau perkembangan perilaku dan pribadi peserta didiknya, namun setelah mengikuti pembelajaran Psikologi Pendidikan, dia memahami dan berkeinginan untuk menerapkan prinsip – prinsip perbedaan individual maupun prinsip-prinsip perkembangan individu jika dia kelak menjadi guru.
e.       Perubahan yang bersifat aktif.
Perubahan bersifat aktif berarti bahwa perubahan tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan karena usaha individu sendiri. Oleh karena itu perubahan tingkah laku karena proses kematangan yang terjadi karena sendirinya karena dorongan dari dalam tidak termasuk perubahan dalam pengertin belajar.
Untuk memperoleh perilaku baru, individu yang bersangkutan aktif berupaya melakukan perubahan. Misalnya, mahasiswa ingin memperoleh pengetahuan baru tentang psikologi pendidikan, maka mahasiswa tersebut aktif melakukan kegiatan membaca dan mengkaji buku-buku psikologi pendidikan, berdiskusi dengan teman tentang psikologi pendidikan dan sebagainya.
f.       Perubahan yang bersifat relatif permanen.
Perubahan perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi bagian yang melekat dalam dirinya. Misalnya, mahasiswa belajar mengoperasikan komputer, maka penguasaan keterampilan mengoperasikan komputer tersebut akan menetap dan melekat dalam diri mahasiswa tersebut.
g.      Perubahan yang bertujuan dan terarah.
Individu melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Misalnya, seorang mahasiswa belajar psikologi pendidikan, tujuan yang ingin dicapai dalam panjang pendek mungkin dia ingin memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang psikologi pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk kelulusan dengan memperoleh nilai A. Sedangkan tujuan jangka panjangnya dia ingin menjadi guru yang efektif dengan memiliki kompetensi yang memadai tentang Psikologi Pendidikan. Berbagai aktivitas dilakukan dan diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
h.      Perubahan Perilaku Secara Keseluruhan (mencakup seluruh aspek tingkah laku)
Perubahan perilaku belajar bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata, tetapi termasuk memperoleh pula perubahan dalam sikap dan keterampilannya. Misalnya, mahasiswa belajar tentang “Teori-Teori Belajar”, disamping memperoleh informasi atau pengetahuan tentang “Teori-Teori Belajar”, dia juga memperoleh sikap tentang pentingnya seorang guru menguasai “Teori-Teori Belajar”. Begitu juga, dia memperoleh keterampilan dalam menerapkan “Teori-Teori Belajar”.
2.      Bentuk Perubahan Tingkah Laku Dari Hasil Belajar.
Menurut Gagne, perubahan perilaku yang merupakan hasil belajar dapat berbentuk :
a.    Informasi verbal; yaitu penguasaan informasi dalam bentuk verbal, baik secara tertulis maupun tulisan, misalnya pemberian nama-nama terhadap suatu benda, definisi, dan sebagainya.
b.   Kecakapan intelektual; yaitu keterampilan individu dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya dengan menggunakan simbol-simbol, misalnya: penggunaan simbol matematika. Termasuk dalam keterampilan intelektual adalah kecakapan dalam membedakan (discrimination), memahami konsep konkrit, konsep abstrak, aturan dan hukum. Ketrampilan ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi pemecahan masalah.
c.    Strategi kognitif; kecakapan individu untuk melakukan pengendalian dan pengelolaan keseluruhan aktivitasnya. Dalam konteks proses pembelajaran, strategi kognitif yaitu kemampuan mengendalikan ingatan dan cara – cara berfikir agar terjadi aktivitas yang efektif. Kecakapan intelektual menitikberatkan pada hasil pembelajaran, sedangkan strategi kognitif lebih menekankan pada pada proses pemikiran.
d.   Sikap; yaitu hasil pembelajaran yang berupa kecakapan individu untuk memilih macam tindakan yang akan dilakukan. Dengan kata lain. Sikap adalah keadaan dalam diri individu yang akan memberikan kecenderungan bertindak dalam menghadapi suatu obyek atau peristiwa, didalamnya terdapat unsur pemikiran, perasaan yang menyertai pemikiran dan kesiapan untuk bertindak.
e.    Kecakapan motorik; ialah hasil belajar yang berupa kecakapan pergerakan yang dikontrol oleh otot dan fisik.
Sementara itu, Moh. Surya (1997) mengemukakan bahwa hasil belajar akan tampak dalam :
a.       Kebiasaan; seperti : peserta didik belajar bahasa berkali-kali menghindari kecenderungan penggunaan kata atau struktur yang keliru, sehingga akhirnya ia terbiasa dengan penggunaan bahasa secara baik dan benar.
b.      Keterampilan; seperti : menulis dan berolah raga yang meskipun sifatnya motorik, keterampilan-keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi.
c.       Pengamatan; yakni proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera secara obyektif sehingga peserta didik mampu mencapai pengertian yang benar.
d.      Berfikir rasional dan kritis yakni menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab pertanyaan kritis seperti “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why).
e.       Perilaku afektif yakni perilaku yang bersangkutan dengan perasaan takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was dan sebagainya.
C.    Teori-Teori Belajar
Dalam terminologi pendidikan, terdapat tiga kerangka filosofi yang mendalami hakikat manusia yang mendasari lahirnya teori-teori belajar, yaitu: teori belajar behaviorisme, kognitivisme dan konstruktivisme.
1.      Teori Behaviorisme
Teori behaviorisme mulai berkembang secara pesat pada tahun 1950-an, yang dicetus oleh Gage dan Berliner, yang mempelajari tentang perubahan tingkah laku manusia sebagai produk dari pengalaman yang diterimanya. Aliran ini mengedepankan pengukuran perubahan dan terbentuknya perilaku pembelajar yang tampak sebagai bentuk hasil proses belajar.
Behaviorisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa perilaku harus dijelaskan melalui pengalaman yang dapat diamati, bukan dengan proses mental. Menurut kaum behavioris, perilaku adalah segala sesuatu yang kita lakukan dan bisa diamati secara langsung; seperti, siswa membuat poster, guru tersenyum pada siswa, murid mengganggu murid lain, dan sebagainya. Sedangkan, proses mental didefinisikan sebagai pikiran, perasaan, dan motif yang kita alami namun tidak dapat dilihat oleh orang lain. Meskipun kita tidak dapat melihat pikiran, perasaan, dan motif secara langsung, semua itu adalah sesuatu yang riil. Contoh proses mental dalam proses pembelajaran adalah seperti pemikiran siswa tentang cara membuat poster, perasaan senang guru terhadap muridnya, dan motivasi anak untuk mengontrol perilakunya.[7]
Teori behavioristik berawal dari hasil penelitian mengenai hubungan stimulus-respon, yang dilakukan pertama kali oleh Pavlov dengan percobaan pada anjing dan eksperimen B.F. Skinner dengan simulasi kotak skinner terhadap tikus. Dalam perkembangannya konsep behaviorisme ditransformasikan kedalam proses pendidikan yang notabene subjek dan objeknya adalah manusia. Behavioristik mendalami perkembangan perilaku objek yang nyata dan dapat diukur, diamati dan dihasilkan oleh objek tersebut terhadap rangsangan yang diberikan, sebagai respon dari proses pembelajaran/perlakuan. Tanggapan terhadap rangsangan tersebut, dapat diperkuat dengan penguatan/reinforcement. Penguatan itu bisa berupa positif atau negatif terhadap perilaku kondisi yang diinginkan. Penguatan positif dianalogikan sebagai reward dan penguatan negatif merupakan funishment/hukuman. Keduanya digunakan untuk mengkonfirmasi tindakan yang harus dilakukan atau tindakan yang harus dihindari oleh objek. Sehingga teori belajar ini mengutamakan perlakuan dan pengaruh eksternal pembelajar terhadap keberhasilan proses pembelajarannya.
Ciri dari teori ini mengutamakan unsur-unsur yang spesifik, bersifat mekanistis, peranan lingkungan eksternal yang dominan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, penekanan pada hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh merupakan tumbuhnya perilaku yang diinginkan.
Dalam konteks pembelajaran, siswa cenderung pasif dan proses pembelajaran didominasi oleh guru yang memposisikan perannya sebagai sumber ilmu dan pembelajaran. Peserta didiknya menggunakan tingkat kemampuan berfikir yang rendah untuk memahami materi. Behavioristik memposisikan ilmu sebagai material yang permanen dan statis, sehingga keilmuan menjadi terisolasi dan kurang aktual karena tidak mengikuti situasi dan tren yang terus berkembang.
2.      Teori Kognitifisme
Istilah cognitive berasal dari kata cognition yang padanannya adalah kata knowing, berarti mengetahui. Dalam arti yang luas, menurut Neisser sebagaimana dikutip Muhibbin Syah dalam bukunya Psikologi Belajar, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan.[8] Selanjutnya istilah kognitif menjadi populer sebagai salah satu domain atau ranah psikologis manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, dan keyakinan.[9]
Senada dengan hal tersebut dalam Wasty Soemanto disebutkan bahwa para ahli psikologi berpendapat bahwa tingkah laku seseorang selalu didasarkan pada kognisi, yaitu suatu perbuatan mengetahui atau perbuatan pikiran terhadap situasi di mana tingkah laku itu terjadi.[10] Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memperoleh insight untuk pemecahan masalah.[11]
Menurut teori ini yang utama pada kehidupan manusia adalah mengetahui (knowing) bukan respons. Menurut teori ini perilaku juga penting sebagai indikator, tetapi yang lebih penting adalah berpikir. Sehubungan dengan berpikir, pada manusia terbentuk struktur mental atau organisasi mental. Pengetahuan terbentuk melalui proses pengorganisasian pengetahuan baru dengan struktur yang telah ada, setelah pengetahuan baru tersebut diinterpretasikan oleh struktur yang ada tersebut.[12]
Pencetus aliran kognitivisme adalah Ulric Neisser (1967), dalam sebuah bukunya yang berjudul “cognitive psychology”. Selanjutnya diikuti oleh peneliti yang mengembangkan teori ini seperti Ausubel, Bruner, dan Gagne. (Neissser, 1976). Kognitivisme memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses informasi dalam pembelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Sehingga kognitivisme menekankan pada bagaimana informasi diproses.
Aliran ini telah memberikan kontribusi terhadap penggunaan unsur kognitif atau mental dalam proses belajar. Berbeda dengan pandangan aliran behavioristik yang memandang belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, aliran kognitif memandang kegiatan belajar bukanlah sekedar stimulus dan respon yang bersifat mekanistik, tetapi lebih dari itu, kegiatan belajar juga melibatkan kegiatan mental yang ada di dalam diri individu yang sedang belajar. Oleh karena itu, menurut aliran kognitif, belajar adalah sebuah proses mental yang aktif untuk mencapai, mengingat, dan menggunakan pengetahuan. Sehingga perilaku yang tampak pada manusia tidak dapat diukur dan diamati tanpa melibatkan proses mental seperti motivasi, kesengajaan, keyakinan, dan lain sebagainya.[13]
Menurut perspektif psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam setiap peristiwa belajar siswa. Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis, misalnya, tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut dan tangan) untuk mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata respons atas stimulus (rangsangan) yang ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya.[14]
Kerangka kerja atau dasar pemikiran dari teori pendidikan kognitivisme adalah rasional. Teori ini memiliki asumsi filosofis, yaitu the way in which we learn. Pengetahuan seseorang diperoleh berdasarkan pemikiran. Dalam buku landasan Pendidikan; Konsep dan Aplikasinya, disebut dengan filosofi Rasionalism.[15]
3.      Teori Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan pandangan filsafat yang pertama kali dikemukakan oleh Giambatista Vico tahun 1710, ia adalah seorang sejarawan Italia yang mengungkapkan filsafatnya dengan berkata ”Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan”. Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti “mengetahui bagaimana membuat sesuatu”.Ini berarti bahwa seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu.[16]
Teori belajar konstruktivistik merupakan teori belajar yang lebih menekankan pada proses dan kebebasan dalam menggali pengetahuan serta upaya dalam mengkonstruksi pengalaman. Dalam proses belajarnya pun, memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga siswa menjadi lebih kreatif dan imajinatif serta dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.[17]
Konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan objek, fenomena pengalaman dan lingkungan mereka.Hal ini sesuai dengan pendapat Poedjiadi bahwa “konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah dibangun atau dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungannya”.[18]
Prinsip-prinsip konstruktivisme yang diambil adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun secara sosial; (2) pengetahuan tidak dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan siswa sendiri untuk bernalar; (3) siswa aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah; (4) guru berperan membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus.[19]
Kaum konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan bukan suatu yang sudah jadi, tetapi merupakan suatu proses menjadi. Misalnya, pengetahuan kita tentang “ayam”, mula-mula dibentuk sejak kita masih kecil ketemu pertama kali dengan ayam. Pengetahuan tentang ayam waktu kecil belum lengkap, tetapi lambat laun makin lengkap di saat kita makin banyak berinteraksi dengan ayam yang ternyata ada bermacam-macam jenisnya, tetapi semua disebut ayam.
Pengetahuan bukan suatu barang yang dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran seseorang (dalam kasus ini pendidik) kepada orang lain atau peserta didik. Bahkan ketika pendidik bermaksud memindahkan konsep, ide, nilai, norma, keterampilan dan pengertian kepada peserta didik, pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dibentuk oleh peserta didik sendiri. Tanpa keaktivan peserta didik dalam membentuk pengetahuan, pengetahuan seseorang tidak akan terjadi.[20]
Pengertian Teori belajar konstruktivisme menurut Anita Woolfolk (Benny A. Pribadi, 2009: 156) mengemukakan pendekatan konstruktivistik sebagai "...pembelajaran yang menekankan pada peran aktif siswa dalam membangun pemahaman dan memberi makna terhadap informasi dan peristiwa yang dialami". Konstruktivisme lahir dari gagasan Piaget dan Vigotsky, yang beranggapan bahwa pengetahuan itu merupakan hasil konstruksi atau bentukan kognitif melalui kegiatan seseorang yang telah dilakukan sehingga membentuk pengalaman. Pendapat ini sesuai dengan pandangan Von Glasrfield Suparno (Ratno Harsono, 2007: 23) yang menyatakan bahwa pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsep seseorang sewaktu ia berinteraksi dengan lingkungannya.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pengetahuan tumbuh dan berkembang dari buah pikiran manusia melalui konstruksi berfikir, bukan melalui transfer dari guru kepada siswa.Oleh karena itu siswa tidak dianggap sebagai tabula rasa atau berotak kosong ketika berada di kelas.Ia telah membawa berbagai pengalaman, pengetahuan yang dapat digunakan untuk mengkonstruksikan pengetahuan baru atas dasar perpaduan pengetahuan sebelumnya dan pengetahuan yang baru itu dapat menjadi milik mereka.
D.    Jenis – Jenis Belajar
Belajar, adalah istilah umum yang digunakan untuk mendeskripsikan perubahan potensi prilaku yang bersal dari pengalaman. Akan tetapi conditioning (pengkondisian, penyaratan) adalah istilah yang lebih spesifik yang dipakai untuk mendeskripsikan prosedur actual yang yang dapat memodifikasi prilaku. Karena ada dua pengkondisian, classical (klasik) dan operan (instrumental).
1.      Pengkondisian Klasik (Classical Conditioning)
Pengondisian klasik ini pada mulanya ditemukan oleh Ivan Pavlov pada decade 1890-anfisiolog dari Rusia ketika sedang melakukan penelitian eksperimen mengenai proses produksi air liur pada anjing. Ia melihat bahwa anjing tersebut tidak hanya merespon berdasarkan kebutuhan biologis (rasa lapar), tetapi juga sebagai hasil dari proses belajar yang kemudian disebut sebagai pengondisian klasik.
Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia. Ayahnya Peter Dmitrievich Pavlov seorang pendeta. Ia dididik di sekolah gereja dan melanjutkan ke Seminari Teologi. Pavlov lulus sebagai sarjana kedokteran dengan bidang dasar fisiologi. Pada tahun 1884 ia menjadi direktur departemen fisiologi di Institute of Experimental Medicine dan memulai penelitian mengenai fisiologi pencernaan. Karyanya mengenai pengondisian sangat mempengaruhi psikologi behavioristik di Amerika. Karya tulisnya adalah Work of Digestive Glands (1902) dan Conditioned Reflexes (1927).
Pada awal karirnya, Ivan Pavlov bukanlah peneliti di bidang psikologi. Ia adalah fisiolog yang mempelajari sistem pencernaan pada anjing. Padae ksperimennya, Pavlov memasang sebuah selang pada kelenjar liur seekor anjing untuk mengukur jumlah produksi air liur anjing tersebut. Ia membunyikan sebuah bel dan setelah beberapa detik kemudian memberikan makanan kepada anjing tersebut. Pemasangan stimulus antara membunyikan sebuah bel dan memberikan makanan kepada anjing tersebut dilakukan berulang kali dan direncanakan dengan sangat hati-hati. Pada awalnya, anjing tersebut akan mengeluarkan air liur ketika makanan telah dimunculkan. Tidak lama kemudian, anjing tersebut mengeluarkan air liur ketika mendengar suara bel. Bahkan pada eksperimennya, ketika Pavlov menghentikan pemberian makanan, anjing tersebut masih mengeluarkan air liur setelah mendengar suara bel. Anjing tersebut telah mengalami pengondisian klasik dalam mengeluarkan air liur setelah mendengar suara bel. Berkat eksperimennya, pada tahun 1904 Ivan Pavlov memenangkan hadiah Nobel dibidang psikologi dan kedokteran atas karyanya mengenai pencernaan.[21]
Classic conditioning (pengondisian klasik) adalah proses dimana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan. Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya. Teori ini disebut classical karena yang mengawali nama teori ini untuk menghargai karya Ivan Pavlov yang paling pertama di bidang conditioning (upaya pembiasaan) serta untuk membedakan dari teori conditioning lainnya.
Untuk memahami teori pengondisian klasik secara menyeluruh perlu dipahami ada dua jenis stimulus dan dua jenis respon. Dua jenis stimulus tersebut adalah stimulus yang tidak terkondisi (unconditioned stimulus-UCS), yaitu stimulus yang secara otomatis menghasilkan respon tanpa didahului dengan pembelajaran apapun contohnya makanan dan stimulus terkondisi (conditioned stimulus-CS), yaitu stimulus yang sebelumnya bersifat netral, akhirnya mendatangkan sebuah respon yang terkondisi setelah diasosiasikan dengan stimulus tidak terkondisi (contohnya suara bel sebelum makanan datang).[22]
Ia mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi pipi pada seekor anjing. Sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan keluarlah air liur anjing tersebut. Kini sebelum makanan diperlihatkan, maka yang didengarkan bunyi bel terlebih dahulu, baru makanan. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar pula. Apabila perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya memperdengarkan bel saja tanpa makanan maka air liurpun akan keluar pula.
Makanan adalah rangsangan wajar, sedang bel adalah rangsangan buatan. Ternyata kalau perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat (kondisi) untuk timbulnya air liur pada anjing tersebut. Peristiwa ini disebut Refleks Bersyarat atau Conditioned Respons.

Berdasarkan eksperimen dengan menggunakan anjing, Pavlov menyimpulkan bahwa untuk membentuk tingkah laku tertentu harus dilakukan secara berulang-ulang dengan melakukan pengkondisian tertentu. Pengkondisian itu adalah dengan melakukan semacam pancingan dengan sesuatu yang dapat menumbuhkan tingkah laku itu. Hal ini dikarenakan classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut.
Berdasarkan hasil eksperimen tersebut, Pavlov juga menyimpulkan bahwa hasil eksperimennya itu juga dapat diterapkan kepada manusia untuk belajar. Implikasi hasil eksperimen tersebut pada kegiatan belajar manusia adalah bahwa belajar pada dasarnya membentuk asosiasi antara stimulus dan respons secara reflektif, proses belajar akan berlangsung apabila diberi stimulus bersyarat.[23]
Eksperimen Pavlop memperlihatkan bahwa, apabila rangsangan netral sebelumnya dipasangkan dengan rangsangan tanpa pengkodisian, rangsangan netral tersebut menjadi rangsangan yang dikondisikan dan memperoleh kekuatan untuk mendorong tanggapan serupa terhadap apa yang dihasilkan oleh rangsangan tanpa di kondisikan tadi. Dengan kata lain, setelah lonceng dan daging tersebut disodorkan bersama-sama, bunyi lonceng itu sendiri mengakibatkan anjing tadi mengluarkan air liur. Proses ini disebut pengkodisian klasik.[24]
            Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pengkondisian klasik adalah tipe pembelajaran dimana suatu organisme belajar untuk mengaitkan atau mengasosiasikan stimuli. Dalam pengkondisian klasik stimulus netral diasosiasikan dengan stimulus bermakna dan menimbulkan kapasitas untuk mengeluarkan respons yang sama. Pada teori pembelajaran ini dikenal beberapa istilah, yaitu: (1) unconditioned stimulus (US); (2) unconditioned response (UR); (3) conditioned stimulus (CS); dan (4) conditioned response (CR).
            Unconditioned stimulus (US) adalah sebuah stimulus yang secara otomatis menghasilkan respons tanpa ada pembelajaran terlebih dahulu. Dalam eksperimen Pavlov, makanan (daging) adalah US. Unconditioned response (UR) adalah respons yang tidak dipelajari yang secara otomatis dihasilkan oleh US. Dalam eksperimen Pavlop, air liur anjing yang merespons makanan adalah UR. Conditioned stimulus (CS) adalah stimulus yang sebelumnya netral yang akhirnya menghasilkan conditioned response setelah diasosiasikan dengan US. Dalam eksperimen Pavlov suara yang dibunyikan (bel) atau tepung daging adalah CS. Conditioned response adalah respons yang dipelajari, yakni respons terhadap stimulus yang terkondisikan yang muncul setelah terjadi pasangan US-CS.[25]

Melalui eksperimen tersebut Pavlov menunjukkan bahwa belajar dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Faktor lain yang juga penting dalam teori belajar pengkondisian klasik Pavlov adalah generalisasi, deskriminasi, dan pelemahan.      
a.       Generalisasi 
             Dalam mempelajari respon terhadap stimulus serupa, anjing akan mengeluarkan air liur begitu mendengar suara-suara  yang mirip dengan bel, contoh suara peluit (karena anjing mengeluarkan air liur ketika bel dipasangkan dengan makanan). Jadi, generalisasi melibatkan kecenderungan dari stimulus baru yang serupa dengan stimulus terkondisi asli untuk menghasilkan respon serupa.
Misalkan siswa dimarahi karena ulangan biologi buruk. Saat murid itu bersiap untuk ulangan kimia, dia juga menjadi gugup karena dua mata pelajaran tersebut berkaitan. Jadi murid itu menggeneralisasikan satu ulangan mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya.[26]
b.      Deskriminasi
        Organisme merespon stimulus tertentu, tetapi tidak terhadap yang lainnya. Pavlov memberikan makanan kepada anjing hanya setelah bunyi bel, bukan setelah bunyi yang lain untuk menghasilkan deskriminasi. Contoh, dalam mengalami ujian dikelas yang berbeda, peserta didik tidak merasa sama gelisahnya ketika menghadapi ujian matematika dan bahasa Indonesia karena keduanya merupakan subjek yang berbeda
.[27].
c.       Pelemahan (extinction)
Proses melemahnya stimulus yang terkondisi dengan cara menghilangkan stimulus tak terkondisi. Pavlov membunyikan bel berulang-ulang, tetapi tidak disertai makanan. Akhirnya, dengan hanya mendengar bunyi bel, anjing tidak mngeluarkan air liur. Demikian hal nya, murid yang gugup ulangan, ketika menghasilkan skor yang buruk, tidak lagi ditegur, pada lain kesempatan tidak lagi gugup ketika hendak menghadapi ulangan, dan kecemasannya pun mereda.[28]
2.      Pengkondisian Insrumental/Operan (Operant Conditioning)
B. F. Skinner (1953) adalah orang yang mengembangkan teori operant conditioning, yakni pembelajaran yang perilaku disengajanya diperkuat atau diperlemah oleh konsekuensi atau antesenden. Skinner mulai dengan keyakinan bahwa prinsip-prinsip clasical conditioning hanya menjelaskan sebagian kecil perilaku yang dipelajari. Banyak perilaku manusia yang bersifat operant, bukan respondent. Classical conditioning hanya mendeskripsikan bagaimana bila perilaku yang sudah ada dipasangkan dengan stimuli baru; ia tidak menjelaskan bagaimana perilaku-perilaku operant baru diperoleh.[29]
            Perilaku, seperti respons atau tindakan, hanya sekedar kata untuk menyebutkan apa yang dilakukan seseorang dalam situasi tertentu. Secara konseptual, seseorang dapat memikirkan perilaku sebagai suatu yang diapit di antara dua macam pengaruh lingkungan: pengaruh-pengaruh yang mendahuluinya (antensenden) dan yang mengikutinya (konsekuensi). Hubungan ini dapat ditunjukkan dengan sangat sederhana sebagai antencendent-behavior-consequence, atau A-B-C. Bila perilaku berlanjut, konsekuensi tertentu menjadi antensenden bagi sekuensi ABC selanjutnya. Penelitin di bidang operant conditioning menunjukan bahwa perilaku operant dapat diubah melalui perubahan antensenden, konsekuensi, atau kedua-duanya.[30] Menurut pandangan behavioral, konsekuensi menentukan sejauh mana seseorang akan mengulangi perilaku yang menghasilkan konsekuensi tersebut. Tipe dan timing  konsekuensi dapat memperkuat atau memperlemah perilaku. Dengan kata lain, apabila perilaku seseorang langsung diikuti oleh konsekuensi yang menyenangkan, orang itu akan lebih sering terlibat dalam perilaku tersebut. Penggunaan konsekuensi-konsekuensi tersebut utuk mengubah perilaku disebut dengan pengkondisian operan (operant condition).
            Skinner terfokus pada penempatan subjek dalam situasi yang dikendalikan dan pada pengamatan perubahan perilaku mereka yang dihasilkan oleh perubahan sistematis konsekuensi perilaku mereka. Skinner terkenal karena dia mengembangkan alat yang lazim disebut sebagai kotak skinner. Kotak Skinner berisi alat yang sederhana untuk mempelajari perilaku binatang, biasanya tikus dan merpati. Kotak Skinner untuk tikus terdiri atas balok yang mudah ditekan oleh tikus tersebut, corong makanan yang dapat memberi butiran makanan kepada tikus tersebut, dan corong air. Kotak Skinner tersebut dikondisikan sedemikian rupa, sehingga tikus tidak dapat melihat atau mendengar apa pun di luar kotak tadi, sehingga semua rangsangan dikendalikan penuh oleh pelaku eksperimen.[31]
            Dalam beberapa eksperimen, Skinner menggunakan kotak Skinner yang telah dikondisikan sedemikian rupa, apabila tikus menekan sebuah balok, maka tikus tadi akan mendapatkan butiran makanan, sehingga tikus berulangkali menekan balok tersebut, agar mendapatkan butiran makanan yang lebih banyak. Imbalan makanan telah mengkondisikan perilaku tikus tersebut, yang memperkuat perilaku untuk menekan balok lebih sering, sementara itu pengkondisian tersebut juga memperlemah perilaku yang lain, seperti mengurangi perilaku tikus yang berputar-putar dalam kotak Skinner sebelum menekan balok dan mendapatkan imbalan makanan.[32]

Implementasi Prinsip Pembelajaran Perilaku Pengkondisian Operan (Operant Condition)
Prinsip-prinsip pembelajaran perilaku pengkondisian operan meliputi peran konsekuensi (role of consequence), tindakan penguatan (reinforcer), tindakan penghukuman (punisher), kesegeraan konsekuensi (immediacy of consequence), pembentukan (shaping), kepunahan (extinction), jadwal penguatan (schedule of reinforcement), pemeliharaan, dan peran antesenden (role of antecendent).
Peran Konsekuensi (role of consequence)[33]
Prinsip yang terpenting dalam teori pembelajaran perilaku adalah bahwa perilaku berubah sesuai dengan konsekuensi langsungnya. Konsekuensi yang menyenangkan memperkuat perilaku; konsekuensi yang tidak menyenangkan memperlemahnya. Dengan kata lain, konsekuensi yang menyenangkan meningkatkan frekuensi seseorang terlibat dalam perilaku tertentu, sedangkan konsekuensi yang tidak menyenangkan mengurangi frekuensi suatu perilaku tertentu. Apabila siswa senang membaca buku, mereka tentunya akan sering membaca. Namun, apabila mereka menemukan bacaan yang membosankan atau tidak mampu berkonsentrasi, mereka akan kurang sering membaca, dengan sebaliknya memilih kegiatan-kegiatan lain. Konsekuensi yang menyenangkan disebut sebagai tindakan penguat (reinforcer); konsekuensi yang tidak menyenangkan disebut tindakan penghukuman (punisher).
Tindakan Penguatan (Reinforcment: Primer, Sekunder, Positif, Negatif, Intrinsik, Ekstrinsik, dan Prinsip Premack)
Reinforcement didefinisikan sebagai setiap konsekuensi yang memperkuat, yakni meningkatnya frekuensi perilaku. Seseorang tidak dapat berasumsi bahwa konsekuensi tersebut adalah tindakan penguatan hingga kita mempunyai bukti bahwa hal itu memperkuat perilaku bagi individu tertentu. Misalnya, permen pada umumnya mungkin dianggap suatu tindakan penguatan bagi anak-anak kecil, tetapi setelah banyak makan, anak tersebut mungkin tidak merasakan bahwa permen itu menyenangkan, dan pada beberapa anak sama sekali tidak menyukai permen.
            Tindakan penguatan mempunyai dua katageri luas: primer dan sekunder. Tindakan penguatan primer (primary reinforcer) memuaskan kebutuhan dasar manusia. Beberapa contoh adalah makanan, air, keamanan. Tindakan penguatan sekunder (secondary reinforcer) adalah tindakan penguatan yang memperoleh nilainya kalau dikaitkan dengan tindakan penguatan primer atau tindakan penguatan sekunder lainnya yang sudah terbentuk dengan baik. Misalnya, uang tidak mempunyai nilai bagi anak kecil hingga anak itu mempelajari bahwa uang dapat digunakan untuk membeli sesuatu yang pada dirinya meruapakan tindakan primer atau sekunder. Nilai sekolah mempunyai nilai yang kecil bagi siswa kecuali orang tua mereka memperhatikan dan menghargai nilai sekolah yang baik, dan pujian orang tua bernilai karena hal itu terkait dengan kasih sayang, kehangatan, keamanan, dan tindakan penguatan lainnya. Uang dan sekolah adalah contoh tindakan penguatan sekunder karena keduanya tidak bernilai pada dirinya tetapi stelah dikaitkaan dengan tindakan penguatan primer atau tindakan penguatan sekunder lainnya yang sudah terbentuk dengan baik.
            Tindakan penguatan positif adalah konsekuensi yang menyenangkan yang digunakan untuk menguatkan perilaku. Tindakan penguatan seperti ini sering dipraktikan di sekolah meliputi pujian, nilai, dan pemberian tanda bintang bagi siswa yang memiliki perilaku atau hasil belajar yang baik. Tindakan penguatan dapat juga berupa mengupayakan konsekuensi perilaku tersebut menjadi pelarian dari situasi yang tidak menyenangkan. Misalnya orang tua dapat membebaskan seorang anak dari mencuci piring bila anak tersebut menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Apabila pekerjaan mencuci piring tersebut dianggap sebagai tugas yang tidak menyenangkan, pembebasan dari pekerjaan tersebut akan memberikan penguatan. Tindakan penguatan yang meruapakan  pelarian dari situasi yang tidak menyenangkan disebut sebagai tindakan penguatan negatif.
            Tindakan penguatan intrinsik adalah perilaku yang dinikmati seseorang dengan terlibat di dalamnya demi perilaku itu sendiri, tanpa sedikitpun imbalan. Misalnya hobi, kebanyakan orang mempunyai hobi yang mereka kerjakan dalam waktu yang lama tanpa sedikit pun imbalan. Siswa senang membaca, berdiskusi, berkorespondensi, berolahraga, bernyanyi, atau berpetualang tanpa alasan selain kesenangan dalam melakukannya.
            Tindakan penguatan ekstrinsik adalah pujian atau imbalan yang diberikan untuk memotivasi orang terlibat dalam perilaku yang mungkin mereka tidak akan terlibat di dalamnya tanpa pujian atau imbalan tersebut. Pujian lisan dan jenis-jenis umpan balik lainnya adalah tindakan penguatan ekstrinsik yang telah dibuktikan memiliki fungsi meningkatkan minat intrinsik siswa, bukan malah mengurangi. Berbagai riset tentang penguatan ektrinsik memberikan rekomendasi kepada guru agar berhati-hati dalam menggunakan tindakan penguatan ekstrinsik yang berwujud kepada para siswa, mesti disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi siswa, sebab tidak sedikit, tindakan penguatan ektrinsik yang berwujud malah merusak penguatan intrinsik yang muncul dari diri siswa itu sendiri.
Prinsip Premack adalah aturan yang menyatakan bahwa kegiatan yang menyenangkan dapat digunakan untuk memperkuat keikutsertaan dalam kegiatan yang kurang menyenangkan. Seorang guru dapat meningkatkan kegiatan yang kurang diminati dengan mengaitkannya dengan kegiatan yang lebih diinginkan. Misalnya, seorang guru dapat saja memberikan umpan balik dengan mengatakan, “Bila kalian (para siswa) menyelesaikan tugas kalian, kalian dapat keluar lebih awal.”
Banyak contoh-contoh aplikatif yang dapat diterapkan guru dalam upaya reinforcement agar pembelajaran menjadi semakin menyenangkan, dan tingkat partisipasi serta frekuensi kegiatan menjadi semakin meningkat dan kuat. Di antara tindakan penguatan praktis yang dapat dilakukan guru adalah sebagai berikut: penguatan diri sendiri, pujian, perhatian, nilai dan penghargaan, telepon ke rumah, penguatan berbasis keluarga, hak istimewa, tindakan penguatan kegiatan, tindakan penguatan nyata, makanan, dan lain sebagainya.
 Tindakan Penghukuman[34]
Hukuman adalah konsekuensi yang tidak menyenangkan yang berguna untuk melemahkan perilaku. Namun apabila konsekuensi yang kelihatannya tidak menyenangkan tidak mengurangi fekuensi perilaku yang diikutinya, hal itu tidak selalu merupakan tindakan penghukuman. Misalnya, beberapa siswa senang dimarahi, karena hal itu memberi mereka perhatian guru dan barangkali meningkatkan status mereka di antara teman-temannya. Hukuman dapat mempunyai dua bentuk utama, yaitu: hukuman pemberlakuan, dan hukuman pencabutan.
            Hukuman pemberlakuan adalah rangsangan yang tidak disukai yang mengikuti perilaku tertentu, yang digunakan untuk memperkecil kemungkinan bahwa perilaku tersebut akan terjadi lagi, seperti ketika siswa dimarahi oleh guru. Sedangkan hukuman pencabutan adalah konsekuensi yang tidak menyenangkan yang dicabut untuk dihindari seseorang atau melarikan diri darinya. Misalnya, hilangnya hak istimewa, keharusan tinggal di kelas selama istirahat, atau keharusan tinggal di kelas setelah jam sekolah  selesai.
            Persoalan apakah harus, kapan, dan bagaimana menghukum telah menjadi sumber kontroversi yang sangat besar di kalangan ahli teori pembelajaran perilaku. Beberapa menyatakan bahwa efek hukuman, khususnya hukuman pemberlakuan (yang tidak disukai), hanya bersifat sementara, bahwa hukuman menghasilkan agresi, dan hal itu menyebabkan orang-orang menghindari keadaan di mana hal itu digunakan. Bhakan ahli-ahli teori pembelajaran perilaku yang benar-benar mendukung penggunaan hukuman setuju bahwa hal itu seharusnya ditempuh hanya ketika penguatan untuk perilaku yang tepat telah dicoba dan tidak berhasil; bahwa ketika hukuman diperlukan, hal itu seharusnya diberikan dalam bentuk yang sesering mungkin, konsisten diterapkan. Sedangkan hukuman fisik di sekolah (seperti pukulan) bertentangan dengan hukum di kebanyakan tempat dan ditentang secara universal oleh ahli-ahli teori pembelajaran perilaku dengan alasan etis dan juga ilmiah.
Kesegaran Konsekuensi[35]
Salah satu prinsip yang sangat penting dalam teori pembelajaran perilaku adalah bahwa konsekuensi yang mengikuti perilaku dalam waktu yang berdekatan jauh lebih mempengaruhi perilaku daripada konsekuensi yang tertunda. Kalau Skinner menunggu beberapa menit untuk memberikan butiran makanan kepada tikus dalam kotak Skinner, setelah tikus itu menekan balok, tikus tersebut akan membutuhkan waktu yang lama mempelajari kaitan antara tekanan balok dengan makanan, karena saat makanan itu tiba, tikus tadi mungkin sedang melakukan sesuatudi luar menekan baloknya.
Tindakan penguatan yang lebih kecil yang langsung diberikan umumnya mempunyai efek yang jauh lebih besar daripada tindakan penguatan besar yang diberikan kemudian. Konsep ini banyak menjelaskan perilaku manusia. Misalnya, mengapa orang sulit merokok dan makan makanan berlebihan, oleh sebab orang banyak mengabaikan penguatan kecil tetapi langsung, berupa berhenti menghisap satu batang rokok atau satu buah donat.
Penerapan konsep kesegaran konsekuensi (immediacy consequence) di kelas seperti memberikan pujian secara langsung kepada siswa yang berhasil mengerjakan tugasnya dengan baik, hal ini jauh lebih bermakna dan menjadi tindakan penguatan yang lebih kuat dibandingkan pemberian nilai atau skor yang bagus yang diberikan kemudian hari. Contoh lain seperti guru mendekat kepada siswa yang berperilaku tidak pantas, menyentuh bahunya mungkin akan lebih efektif daripada peringatan yang diberikan pada akhir jam pelajaran.
Pembentukan (Prompt and Shaping)[36]
Pembentukan adalah istilah yang digunakan dalam teori pembelajaran perilaku untuk merujuk pada pengajaran kemampuan atau perilaku baru dengan memperkuat pelajar untuk mendekati perilaku akhir yang diinginkan. Misalnya, dalam mengajari anak-anak mengikatkan tali sepatu mereka, kita tidak hanya memperlihatkan kepada mereka bagaimana hal itu dilakukan dan kemudia menunggu untuk memperkuat mereka mengerjakan seluruh tugas itu. Sebaliknya, kita pertama-tama akan memperkuat mereka untuk mencoba ikatan pertma, kemudian untuk membuat simpul, dan seterusnya, hingga mereka dapat mengerjakan seluruhnya dengan benar. Dengan cara ini kita akan membentuk perilaku anak-anak tersebut dengan memperkuat semua langkah yang mengarah pada tujuan akhir. Dengan kata lain, guru dapat mengajarkan siswa kemampuan-kemampuan itu langkah demi langkah, hingga dapat membentuk kemampuan siswa yang diharapkan.
Kepunahan (extinction)[37]
Pada hakikatnya, tindakan penguatan adalah upaya menguatkan perilaku. Namun demikian, apabila tindakan penguatan tersebut ditarik kembali, maka proses tersebut disebut dengan kepunahan (extinction). Prinsip ini memiliki dua pengembangan teori: Pertama,  teori yang menyatakan bahwa perilaku mengalami peningkatan ketika tindakan penguatan ditarik kembali pada awalnya, kemudian dengan cepat melemah hingga perilaku itu menghilang, namun perilaku tersebut akan kembali terjadi dalam waktu yang lama. Misalnya, guru yang tidak memberi kesempatan untuk menjawab kepada siswa yang mengacukan tangannya dengan perilaku yang tidak seperti berteriak, maka lambat laun siswa tersebut dengan sendirinya akan menghilangkan perilaku yang tidak pantas tersebut. Kedua, teori yang menyatakan bahw kenaikan tingkat perilaku pada tahap awal kepunahan, mempunyai konsekuensi penting bagi pengelolaan kelas. Misalnya, Seorang guru memutuskan untuk mengabaikan teriakan seorang siswa yang mengacungkan tangannya, hingga menimbulkan reaksi yang lebih dengan melakukan teriakan yang lebih keras, namun bilamana seorang guru memutuskan untuk tetap mengabaikannya, maka tindakan tersebut menjadi strategi yang benar untuk dilakukan.

Jadwal Penguatan (Schedule Reinforcement)[38]
Jadwal Penguatan  adalah frekuensi dan daya prediksi penguatan, yaitu jumlah waktu yang berlalu antara kesempatan memperoleh penguatan dan daya prediksi penguatan tersebut. Jadwal penguatan berfungsi menguraikan tentang kapan dan bagaimana respons diperbuat. Ada empat cara penjadwalan penguatan sebagai berikut:
1.      Jadwal Rasio Tetap (FR-Fixed Ratio Schedule), yaitu jadwal penguatan dimana perilaku yang diinginkan diberi imbalan setelah dilakukan perilaku dalam jumlah tetap. Misalnya, guru dapat mengatakan, “Begitu kalian telah selesai mengerjakan 10 soal, kalian boleh keluar.” Tanpa peduli berapa pun jumlah waktu yang diperlukan, siswa dikuatkan begitu mereka menyelesaikan 10 soal.
2.      Jadwal Rasio Variabel (VR-Variable Ratio Schedule, yaitu jadwal penguatan dimana perilaku yang diinginkan diberi imbalan setelah sejumlah perilaku tidak dapat diperkirakan banyaknya. Di kelas, jadwal rasio variabelterdapat ketika siswa mengangkat tangan untuk menjawab pertanyaan. Mereka tidak akan pernah tahu kapan mereka akan dikuatkan dengan sanggup menjawab benar, tetapi mereka dapat maju untuk dipanggil satu kali dari tiga puluh kesempatan dalam satu kelas yang terdapat 30 siswa.
3.      Jadwal Interval Tetap (FI-Fixed Interval), yaitu jadwal penguatan dimana perilaku yang diinginkan diberi imbalan setelah jumlah waktu yang tetap. Misalnya berkaitan dengan ulangan harian yang diberikan pada interval yang ditetapkan pada jangka waktu yang pendek. Hal demikian berguna untuk mendorong siswa agar dapat memberikan upaya yang lebih baik, alih-alih menghabiskan waktu sepanjang malam sebelum ujian berlangsung.
4.      Jadwal Interval Variabel (VI- Variable Interval), yaitu jadwal penguatan dimana perilaku yang diinginkan diberi imbalan setelah jumlah waktu yang tidak dapat diperkirakan banyaknya. Misalnya, seorang guru melakukan pemeriksaan acak terhadap siswa yang mengerjakan tugas di kelas. Siswa dikuatkan kalau mereka bekerja dengan baik pada saat tertentu ketika guru tersebut mendekati beberapa siswa untuk memeriksa tugas siswa tertentu.

Pemeliharaan (maintenance)[39]
Prinsip kepunahan menyatakan bahwa, ketika penguatan untuk perilaku yang dipelajari sebelumnya ditarik kembali, perilaku tersebut menghilang. Apakah ini berarti guru harus memperkuat perilaku siswa selamanya atau perilaku tersebut akan lenyap? Tentu tidak selalu. Sebab manusia hidup dalam dunia yang jauh lebih rumit yang penuh dengan tindakan penguatan alami bagi banyak kemampuan dan perilaku yang kita pelajajari di sekolah. Misalnya, siswa pada awalnya mungkin akan sering memerlukan penguatan dari perilaku yang menghasilkan kemampuan membaca. Namun begitu mereka dapat membaca, mereke mempunyai kemampuan untuk memperlancar bacaannya sendiri dari berbagai sumber. Setelah masa tertentu, penguatan untuk membaca tidak diperlukan lagi.
            Jenis pemeliharaan perilaku juga terjadi pada perilaku yang tidak perlu dikuatkan karena hal itu memperkuat secara intrinsik, yang berarti bahwa keterlibatan dalam perilaku ini sendiri sangat menyenangkan. Misalnya, banyak anak yang senang menggambar, memecahkan masalah, atau mempelajari sesuatu sekalipun mereka tidak perlu dikuatkan untuk melakukannya.

Peran Atesenden (Antecenet Stimuli)[40]
Rangsangan Atesenden adalah peristiwa yang mendahului perilaku, juga dikenal sebagai isyarat (cue), karena  hal itu memberitahukan kepada kita perilaku tertentu yang akan dikuatkan dan atau perilaku apa yang akan dihukum. Isyarat mempunyai bentuk dan memberi kita petunjuk tentang kapan kita sebaiknya mengubah perilaku kita dan kapan sebaiknya tidak. Misalnya, selama pelajaran al-Quran Hadis, kebanyakan guru akan memperkuat siswa dengan memberikan soal. Namun setelah guru tersebut mengumumkan bahwa pelajaran al-Quran hadis sudah selesai dan kini waktunya istirahat, konsekuensi tersebut berubah. Kemampuan berprilaku semacam ini, dimana suatu cara di hadapan satu rangsangan, pada lain hal terdapat rangsangan lain dikenal dengan diskriminasi rangsangan.
            Diskriminasi adalah penggunaan isyarat, tanda, atau informasi untuk mengetahui kapan perilaku kemungkinan akan dikuatkan. Penerapan konsep ini dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan penyampaian yang dilakukan guru kepada siswa tentang hal-hal yang dapat dikuatkan oleh guru dan yang tidak atau bahkan mendapatkan hukuman. Misalnya, guru membacakan ketentuan-ketentuan pembelajaran di kelas sebelum pembelajaran dimulai.
            Dalam rangsangan antesenden juga terdapat generalisasi. Generalisasi di sini berarti sebagai upaya mempertahankan perilaku, kemampuan, atau konsep dari satu keadaan atau tugas ke keadaan yang lain. Misalnya, penerapan generalisasi dalam pelajaran al-Qur’an Hadis, yakni apabila siswa mamapu mengidentifikasi hukum bacaan nun mati atau tanwin pada surah al-Baqarah, siswa juga dapat dipastikan mampu mengidentifikasi hukum tersebut pada surah-surah yang lain. Jadi jelas, generalisasi memungkinkan terjadi dalam semua keadaan yang sama atau dalam seluruh konsep yang sama. Namun demikian, tidak semestinya guru berasumsi bahwa siswa dapat melakukan sesuatu dalam satu lingkungan, mereka juga dapat melakukannya dalam lingkungan yang berbeda. Dalam hal ini, guru tetap perlu melakukan reinforcement terhadap siswa, hingga dapat dipastikan siswa telah menguasi kemampuan atau perilaku yang diharapkan sesuai dengan tujuan pembelajaran.

BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
1.      Belajar adalah suatu proses kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh seseorang secara sadar dalam berinteraksi dengan lingkungannya sehingga diperoleh kecakapan-kecakapan yang baru yang mengakibatkan terjadinya perubahan tingkah laku didalam dirinya berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan.



DAFTAR PUSTAKA
Aunurrahman, Belajar dan pembelajaran, Bandung, Alfabeta, 2012
Daryanto, Belajar dan Mengajar, Jakarta, Yrama Widya, 2010.
Dimyati & Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta, Rineka Cipta, 2013
Gintings, abdorrahman, Esensi praktis belajar dan pembelajaran, Yogyakarta, humaniora, 2010.
Sukmadinata, Nana Syaodih, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2009.
Syah,Muhibbin,Psikologi Belajar, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2006.
Syah,Muhibbin, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2010
Hergenhahn, B.R., Matthew H. Olson. Theories Of Learning, Jakarta, Kencana, 2009.
Rusman. Model-Model Pembelajaran (Mengembangkan Profesionalisme Guru), Jakarta: Rajawali Pers, 2010.






[1] Abdorrahman Gintings, Esensi praktis belajar dan pembelajaran, (Humaniora: Yogyakarta, 2010), h.
[2] Sukmadinata, Nana Syaodih, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, ( Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h.
[3] B.R. Hergenhahn, Matthew  H. Olson. Theories of learning edisi ketujuh, ( Jakarta: prenadamedia grup, 2008), h. 2
[4] Hilgard, E. R., & Bower, G. H. Theories of learning, 1975
[5] B.R. Hergenhahn, Matthew H. Olsonh.4. atau  pada Bab 5
[6] Muhibin,  Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2009), h. 128
[7] John W. Santrock, Educational Psychology, 2th Edition, Alih Bahasa Tri Wibowo, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h.266.
[8]Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 22.
[9]Ibid, h.
[10]Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan; Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan, cet 5 (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), h. 223-224 Lihat juga Abu Ahmadi, Widodo Supriyono, Psikologi Belajar, cet 1 (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), h. 215
[11]Wasty Soemanto,, h. 121
[12]Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, cet 5 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), h. 170
[13]Baharudin dan Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2007), h. 88.
[14]Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Cet. IV (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 111.
[15]M. Sukardjo, Ukim Komarudin, Landasan pendidikan; Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009),h. 50
[16]Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 24
[17]Uyoh  Sa’dullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Al Fabeta, 2003), h. 178-179
[18]Poedjiadi, A, Sains Teknologi Masyarakat; Model Pembelajaran Kontekstual Bermuatan Nilai. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 70
[19]Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan………,h. 49
[20]Ibid, h. 20
[21] Wade, Carole; Carol Tavris Psikologi, edisi ke-9. ( Erlangga, 2007), h. 242
[22] S. Friedman, Howard; Miriam W. Schustack Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern(Penerbit Erlangga, 2008), h. 221
[23]Feldman, Robert S. Pengantar Psikologi(Salemba Humanika, 2012), h.  
[24] Robert E. Slavin, Educational Psycology: Theory and Practice, Alih Bahasa Marianto Samosir, (Jakarta: PT Indeks, 2008), h. 180-181.
[25] Santrock, Educational Psychology…, Op. Cit., h. 268-269.
[26] Ibid. h. 270.
[27] Ibid.
[28] Ibid.
[29] Woolfolk,  Educational Psychology …, Op. Cit., h. 307-308.
[30] Ibid.
[31] Slavin,  Educational Psycology…, Op.Cit., h. 182-183.
[32] Ibid.,
[33] Ibid., h. 184-189.
[34] Ibid., 190-191.
[35] Ibid.,  h. 192.
[36] Ibid.  h. 193-194. Lihat juga Ratna Willis Dahar, Teori-Teori Belajar dan Pembelajara, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), h. 19-22.
[37] Ibid., h. 195-196.
[38] Ibid., h. 196-198. Lihat juga Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan landasan Kerja Pemimpin Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 129.
[39] Ibid., h. 200-201.
[40] Ibid., h. 201-204. 

This Is The Oldest Page

1 komentar so far

ᐈ Casino Site Review 2021 | Online | Lucky Club
Lucky Club is the luckyclub best site to find the best casino and sports betting, which includes online sports betting and more. Get started today. Rating: 3.9 · ‎1 vote


EmoticonEmoticon