TELAAH KURIKULUM PESANTREN SALAFIYAH
Oleh:
Wahyudin Noor (NIM: 1502521482)
TUGAS TERSTRUKTUR
MATA KULIAH
TELAAH KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
Dosen
Pengampu:
Dr. Hj. Salamah,
M.Pd
PASCASARJANA
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
BANJARMASIN
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kurikulum merupakan alat yang sangat
penting dalam keberhasilan suatu pendidikan, tanpa adanya kurikulum yang baik
dan tepat maka akan sulit dalam mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yang telah
dicita-citakan oleh suatu lembaga pendidikan, baik formal, informal maupun non
formal. Karena segala sesuatu harus ada manajemennya bila ingin menghasilkan
sesuatu yang baik, sesuai dengan yang diharapakan.
Pondok pesantren merupakan lembaga
pendidikan Islam tertua yang berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan
umat islam, pusat dakwah dan pusat pengembangan masyarakat muslim di Indonesia.
Istilah pondok pesantren pertama kali dikenal di Jawa, di aceh dikenal dengan rangkah
dan dayah, di Sumatra Barat dikenal dengan surau.[1]
Dimana kurikulum senantiasa mengalami
perubahan, perbaikan dan pembahruan. Di Indonesia, telah tercatat dalam sejarah
pendidikannya telah mengalami beberapa kali perubahan kurikulum seiring perubahan
dan tuntutan kebutuhan masyarakat. Disamping kurikulum formal dan non formal,
terdapat juga kurikulum tersembunyi (the hidden curriculum) . Dimana kurikulum
ini antara lain berupa aturan-aturan yang tidak tertulis, yang tentunya
kurikulum ini bisa berkonotasi positif maupun negatif.
Apabila hal ini dikaitkan dengan
pesantren sebagai lembaga pendidikan bahwa konsep kurikulum yang digunakan
dalam pondok pesantren tidak hanya mengacu pada pengertian kurikulum sebagai
materi semata, melainkan jauh lebih luas dari itu, yakni menyangkut keseluruhan
pengalaman belajar santri yang masih berada dalam lingkup koordinasi pondok
pesantren. Termasuk didalamnya sistem pendidikan dan pengajaran yang berlaku di
pesantren, yang mana perlu diadakan suatu rekonstruksi sesuai dengan tuntutan
masyarakat dan jaman. Sehingga misi dan cita-cita pondok pesantren dapat
berperan dalam pembangunan masyarakat.
Salah satu keunikan pesantren adalah
independensinya yang kuat, dimana masyarakat memiliki keleluasaan dan kebebasan
relatif yang tidak harus memihak atau mengikuti model baku yang ditetapkan oleh
pemerintah dalam bidang pendidikan. Pesantren bebas mengembangkan model
pendidikannya tanpa harus mengikuti standarisasi dan kurikulum yang ketat.
Karena cenderung pada sentralistik yang berpusat di tangan kyai. Model
pendidikan seperti inilah yang berjalan di pesantren menjadi sangat beragam
sesuai dengan kecenderungan dan misi yang ingin dikembangkan oleh sang kyai,
yang sebagai pemimpin sekaligus sebagai pengasuh pondok pesantren.
Pendidikan pesantren biasanya lebih menekankan
terhadap satu aspek disiplin keilmuan tertentu, sehingga mengabaikan aspek
keilmuan lainnya. Karena pelajaran agama masih dominan di beberapa lingkungan
pesantren, bahkan materinya hanya khusus disajikan dalam bentuk bahasa arab,
dan pengetahuan umum dilaksanakan hanya setengah-setengah atau bahkan tidak
dilaksanakan sama sekali, sehingga kemampuan santri terbatas dan masih kurang
mendapat pengakuan dari sebagian masyarakat.[2]
Oleh karena itu, dalam
makalah ini penulis mencoba untuk melihat lebih mendalam tentang kurikulum
pembelajaran dalam pendidikan pesantren khususnya pesantren salafiyah.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah pada
makalah ini sebagai berikut;
1. Apakah kurikulum
pesantren salafiyah itu?
2. Bagaimanakah
kurikulum pesantren salafiyah itu?
3. Bagaimanakah
proses pembelajaran dalam pesantren salafiyah itu ?
BAB II
PEMBAHASAN
TELAAH KURIKULUM PESANTREN SALAFIYAH
A.
Pengertian
Kurikulum
Telaah berarti penyelidikan; kajian; pemeriksaan; penelitian.[3] Istilah “curriculum” berasal dari
bahasa Latin curro atau currere dan ula atau ulums
yang dalam bahasa Inggeris diartikan “race corse” (lapangan/pacuan kuda, jarak tempuh
lari, perlombaan, pacuan balapan, peredaran, gerak berkeliling, lapangan
perlomabaan, gelanggang, kereta balap, dan lain-lain” (Prent, 1969: 211;
Webster, 1989: 340).
Sedangkan
pada tahun 1955 istilah kurikulum dipakai dalam bidang pendidikan dengan arti
sejumlah mata pelajaran di suatu perguruan maupun lembaga pendidikan lainnya[4].
Dalam konteks pendidikan Islam, istilah kurikulum lebih dikenal dengan “manhaj”
yang berarti sebagai jalan terang yang dilalui oleh pendidik dan peserta didik
dalam mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap.[5]
Menurut
kurikulum 1975, definisi kurikulum menurut SK menteri Pendidikan dan Kebudayaan No :008 c/u/1975 diartikan
sebagai ,”sejumlah pengalaman belajar yang diberikan (menjadi tanggung jawab
sekolah) dalam usaha untuk mencapai suatu tujuan pendidikan tertentu”.[6]
Sedangkan menurut Oemar Hamalik kurikulum adalah rencana tertulis
tentang kemampuan yang harus dimiliki berdasarkan standar nasional, materi
yang perlu dipelajari, dan pengalaman belajar yang harus dijalani untuk
mencapai kemampuan tersebut, dan evaluasi yang perlu dilakukan untuk
menentukan tingkat pencapaian kemampuan peserta didik dalam mengembangkan
potensi dirinya pada satuan pendidikan tertentu.[7]
Hasan (1988:28) mengemukakan kurikulum pada empat dimensi yakni: 1) kurikulum
sebagai ide atau
gagasan, 2) kurikulum
sebagai rencana tertulis,
3) kurikulum sebagai kegiatan (proses), dan 4) kurikulum sebagai hasil belajar. Dalam dimensi ide, kurikulum adalah pernyataan yang berkaitan dengan tujuan pendidikan
(Print, 1993). Sementara
itu dalam dimensi dokumen, kurikulum adalah seperangkat
rencana tertulis (Oliva, 1982). Kurikulum dalam dimensi implementasi
adalah serangkaian pengalaman nyata yang dialami peserta belajar dengan
bimbingan sekolah (Tanner & Tanner, 1980), dan kemudian kurikulum dalam dimensi hasil merupakan serangkaian
hasil belajar yang tersusun (Johnson,
1967). Konsep kurikulum pada empat dimensi ini merujuk pada tahapan pengembangan, yakni mulai
pengembangan ide atau
gagasan, kurikulum tertulis
(desain kurikulum), implementasi kurikulum, dan hasil belajar.
Dimensi kurikulum di atas dapat digambarkan sebagai berikut:
Idealnya
suatu kurikulum dirancang bermuara
dari ide-ide yang diseleksi secara mendalam, kemudian
dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis
(rencana) secara jelas, kemudian dilaksanakan secara professional dalam proses pembelajaran,
sehingga memperoleh hasil yang diinginkan secara maksimal. Dalam prakteknya keempat dimensi
tersebut tidak selalu sejalan, dapat saja ide tidak tertuangkan dalam rencana
dan langsung terlaksana dalam pembelajaran, hal ini biasa terjadi, misalnya
ide/pandangan seorang guru yang tidak terdapat dalam dokumen
dilaksanakan (proses) dan mempengaruhi
hasil belajar, sehingga
muncul istilah kurikulum tersembunyi.[8]
Setiap
sekolah atau lembaga pendidikan hampir bisa dipastikan mempunyai hidden
curriculum yang diartikan sebagai pengalaman aktual yang diberikan kepada
siswa, yang mungkin berbeda dengan apa yang direncanakan secara formal,
termasuk yang tejadi pada dunia pesantren hususnya pesantren salafiyah yang
kita bahas dalam makalah ini.
Dari beberapa pengertian diatas dapat
kita pahami bahwa; Kurikulum dalam pengertian modern lebih sering ditafsirkan
secara lebih luas, tidak hanya sebagai mata pelajaran, tetapi meliputi semua
kegiatan dan pengalaman yang menjadi tanggung jawab sekolah. Dalam hal ini
tidak dipisahkan antara kegiatan intrakulikuler dan kegiatan ekstrakulikuler.
Meskipun pemahaman dan pandangan tentang
kurikulum berubah dari pandangan tradisional ke modern atau sempit ke luas,
namun konsep kurikulum tradisional atau sempit tidak berarti telah ditinggalkan
sama sekali. Praktisi pendidikan umumnya masih menggunakan konsep kurikulum
tersebut, disamping juga telah melaksanakan pengertian kurikulum modern.[9]
B.
Pesantren Salafiyah
Dalam
pemakaian sehari-hari, istilah pesantren
disebut dengan pondok saja atau kedua kata ini di gabung menjadi istilah pondok
pesantren. Secara etimologis perkataan pesantren berasal dari kata “santri”
dengan awalan “pe” dan akhiran “an” berarti tempat tinggal santri. Nurcholis
majid berpendapat bahwa istilah santri berasal dari perkataan “sastri” berasal
dari bahasa sangsakerta yang artinya “melek hurup”, sedangkan Zamakhsyari
Dhofier berpendapat bahwa kata santri dalam bahasa India “shastri” yang berarti
orang yang tahu buku-buku suci agama hindu atau seseorang sarjana ahli kitab
suci agama hindu (Yasmadi, 2005: 61)
Pesantren
adalah lembaga pendidikan dan penyiaran agama Islam, tempat berlangsungnya
proses belajar dan mengajar sekaligus pusat pengembangan jama’ah masyarakat pemukiman. Lembaga Research
Islam mendefinisikan pesantren adalah “suatu tempat yang tersedia untuk
para santri dalam menerima pelajaran-pelajaran agama Islam sekaligus tempat
berkumpul dan tempat tinggalnya (Qomar, 2002: 2)
Hampir dapat
dipastikan lahirnya suatu
pesantren berawal dari beberapa
elemen dasar yang selalu ada di dalamnya. Secara garis besar pesantren memiliki
Lima elemen pokok, yaitu: Kiai, Santri, Masjid/Surau/Mushalla, Pondok, dan Pengajaran kitab-kitab Islam klasik.
Pondok
pesantren mempunyai jenis-jenis yang berbeda, diantaranya;
(1) Pondok pesantren
salafiyah (klasik), (2) Pondok pesantren
khalafiyah (modern) Pesantren yang telah memasukkan
pelajaran- pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkannya atau membuka tipe sekolah-sekolah umum dalam lingkungan
pesantren (Dhofier, 1982: 41), dan
(3) Pondok pesantren semi berkembang. Pondok pesantren tipe ini adalah pondok pesantren
yang di dalamnya
terdapat
sistem pendidikan salaf (klasikal) dan sistem khalaf (modern) dengan kurikulum
90% agama dan 10% umum (Ridwan Nasir, 2005 : 87).
Adapun
pesantren salafiyah adalah pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran
kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Sistem madrasah
diterapkan untuk memudahkan sistem sorogan (bahasa jawa yang berarti
menyodorkan) yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian, tanpa mengenalkan
pengajaran pengetahuan umum.
(Yasmadi, 2002:70)
Pesantren
model ini mempunyai karakteristik di antaranya; pengajian hanya
terbatas pada kitab-kitab
kuning (klasik), intensifikasi
musyawarah atau bahtsul masa’il, berlaku sistem halaqah, pakaian, tempat, dan
lingkungannya mencerminkan masa lalu, dan kultur paradigma berpikiran didominasi
oleh term-term klasik.
Ada
beberapa kelebihan dari pesantren model ini, yaitu semangat mengarungi hidup
yang luar biasa, mental kemandirian yang
tinggi, terjaga moralitas
dan mentalitasnya dari
virus modernitas, mampu menciptakan insan yang mampu untuk menghadapi
hidup dengan tanpa formalitas ijazah, tumbuhnya mental enterpreneurship
(kewirausahaan) dan berani sakit dan menderita demi suksesnya sebuah cita-cita.
(Saiful Huda, dkk, 2003: 8)
C.
Kurikulum
Pesantren Salafiyah
Kurikulum pesantren salafiyah ditinjau
dari mata pelajaran yang diberikan secara formal oleh pengasuh atau kyai, maka
pelajaran yang diberikan merupakan bagian kurikulum yang berkisar pada ilmu
pengetahuan agama dan segala vak-nya. Terutama pengetahuan-pengetahuan yang
berhubungan dengan bahasa arab (‘ilmu al-sharaf, al-nahwu dan ‘ilmu al-alat
lainya), sedangkan yang berhubungan dengan syari’at (‘ilmu fiqih, dari yang
menyangkut hal ibadat sampai pada hal mu’amalat), ilmu yang berkaitan dengan
keal-qur’anan serta tafsir-tafsirnya, ‘ilmu al-hadits beserta mustalah
al-hadits, begitu juga ada ‘ilmu al-kalam, al-tauhid, ada juga pelajaran mantiq
(logika), tasawwuf dan tarikh.[10]
Menurut Abdurrahman Wahid, kurikulum
yang berkembang dipesantren memperlihatkan pola yang tetap, pola tersebut dapat
dilihat sebagai berikut:
1. Kurikulum itu ditujukan untuk mencetak ulama
di kemudian hari
2. Struktur kurikulum itu berupa pengajaran ilmu
pengetahuan agama dalam segenap tingkatannya dan pemberian pendidikannya dalam
bentuk bimbingan kepada santri secara lansung dari kyai/gurunya
3. Secara universal, bahwa kurikulum pendidikan
pesantren bersifat fleksibel, dalam artian setiap santri mempunyai kesempatan menyusun
kurikulumnya sendiri atau sesuai dengan kebutuhannya.[11]
Standar
pokok yang menjadi tolak ukur dalam mempolakan suatu kurikulum adalah materi
pelajaran yang bersifat intrakurikuler dan metode yang disampaikan dalam dunia
pesantren. Adapun pola pendidikan pesantren dari segi kurikulumnya, menurut
Haidar ada beberapa pola diantaranya;[12]
1.
Pola
I, materi pelajaran yang diberikan di pesantren adalah mata pelajaran yang
bersumber dari kitab-kitab klasik. Adapun metode penyampaiannya dengan wetonan
dan sorogan, tidak memakai sistem klasikal. Santri dinilai dan diukur
berdasarkan kitab yang mereka baca, mata pelajaran umum tidak diajarkan, tidak
mementingkan ijazah, tetapi yang paling penting adalah pengalaman ilmu-ilmu
agama yang mereka harapakan dari kajian melalui kitab-kitab klasik tersebut.
Pola ini yang sering disebut pesantren salafiyah.
2.
Pola
II, dalam proses belajar mengajar dilaksanakan secara klasikal, dimana
diberikan materi keterampilan dan pendidikan berorganisasi. Pada tingkat
tertentu santri diberi tambahan ilmu pengetahuan. Santri di bagi beberapa
jenjang pendidikannya mulai dari tingkat ibtidaiyah, tsanawiyah,‘aliyah. Adapun
metode yang digunakan adalah sorogan, wetonan, hafalan dan musyawarah (batsumasa’il).
3.
Pola
III, dalam pola ini materi pelajaran telah dilengkapi dengan pelajaran umum dan
ditambah aneka macam pendidikan, seperti; keterampilan, olahraga, kesenian dan
pendidikan berorganisasi.
4.
Pola
IV, pola ini lebih menitik beratkan pada pelajaran keterampilan selain
pelajaran agama. Dimana keterampilan diberikan dengan tujuan sebagai bekal
kehidupan santri setelah lulus dari pesantren.
Kapasitas dan kecenderungan kyai
merupakan faktor yang menentukan dalam pengembangan kurikulum. Ilmu-ilmu yang
diajarkan di pesantren ialah ilmu-ilmu yang telah di kuasai oleh seorang kyai.
Cukup dapat dipahami bahwa kondisi pendidikan pesantren diorientasikan pada
ibadah kepada Allah dan serangkaian amalan yang mendukungnya.
Pada abad 19 M, sulit ditemukan rincian
materi pelajaran di pesantren. Hingga kurikulum pesantren menjadi bertambah
luas dengan adanya penambahan ilmu-ilmu yang masih merupakan elemen dari materi
pelajaran yang sudah diajarkan, seperti Al-qur’an dengan tajwid dan tafsirnya, ‘aqaid
dan ilmu kalam, fiqih dan ushul fiqih serta qawa’id al-fiqih, hadits dengan
musthalah hadits, bahasa arab dengan ilmu alatnya seperti; nahwu sharaf, bayan,
ma’ani, ‘arudh, dan lain-lain. Tidak semua pesantren mengajarkan ilmu tersebut
secara ketat, karena beberapa pesantren lainnya dalam menerapkan kombinasi ilmu
yang berbeda-beda, karena belum ada standardisasi kurikulum.[13]
Studi-studi tentang pesantren tidak
menyebut kurikulum yang baku, hal ini dapat dipahami karena pesantren sesungguhnya
merupakan lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang bebas dan otonom, dari
segi kurikulum pesantren diberi kebebasan untuk menyusun dan melaksanakan
kurikulum pendidikan secara bebas tanpa adanya pemaksaan.
Secara umum kurikulum pendidikan pesantren
meliputi; Materi (Bidang Studi), Kitab-Kitab yang Dijadikan Refrensi, Metode
Pembelajaran Dan Sistem Evaluasi.
1.
Bidang Studi yang Diajarkan dalam Pesantren
Salafiyah
Pada umumnya pembagian keahlian di
lingkungan pesantren telah melahirkan produk-produk pesantren yang berkisar
pada bidang-bidang studi; Nahwu-Sharaf, Fiqih, ‘Aqa’id/Tauhid,
Tasawwuf/Akhlak, Tafsir, Hadits, dan lain-lain.[14]
a) Nahwu-Sharaf
Istilah Nahwu-sharaf ini mungkin bisa diartikan sebagai
gramatika bahasa Arab. Pengajaran nahwu-sharaf
ini bertujuan agar santri mampu membaca dan memahami kitab-kitab klasik atau
yang sering kita kenal dengan kitab kuning atau kitab Arab gundul (tanpa tanda
baca).
b) Fiqih
Fiqih merupakan sekumpulan hukum amaliah (sifatnya akan
diamalkan) yang disyariatkan dalam Islam, atau pengetahuan tentang hukum agama
lainnya.
c) ‘Aqaid/Tauhid
Bentuk plural dari ‘aqidah dalam bahasa populernya
“keyakinan atau kepercayaan”. ‘Aqaid meliputi segala hal yang bertalian dengan
kepercayaan dan keyakinan seorang muslim, atau ushuluddin (bidang pokok-pokok
agama), seperti ilmu tauhid.
d) Tasawwuf
Tasawwuf adalah “Dawamul Ubudiyati Dzahiron Wa Bhatinan
Maa’ Dawami Huduril Qolbi Maa’ Allah”. Menurut Syaikhul Islam Zakaria al-Anshory
tasawwuf adalah ilmu yang menerangkan hal-hal tentang cara mensucikan jiwa,
memperbaiki akhlak, dan pembinaan kesejahtraan lahir dan batin untuk mencapai
kebahagiaan abadi.
e) Tafsir
Tafsir adalah ilmu yang berisi tentang penjelasan-penjelasan
ayat al-Quran. Bidang inilah yang paling luas daya cakupannya, sesuai dengan
daya cakup kitab suci yang mampu menjelaskan totalitas ajaran Islam. Atau
disebut juga nilai universalitas Al-qur’an.
f) Hadits
Nurcholish Madjid berpendapat, produk pondok pesantren yang menyangkut
keahlian dalam hadits jauh relatif kecil bila dibanding dengan bidang lainnya.
Padahal penguasaan hadits jauh lebih penting, mengingat hadits merupakan sumber
hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an.
Adapun kitab-kitab yang biasa
diajarkan dalam lingkungan pesantren-pesantren salafiyah, antara lain;
a) Dalam
cabang ilmu Nahwu-Sharaf:
Untuk nahwunya; al-Jurumiyah, al-Kawakib, Qatrun
al-Nada, Ibnu ‘aqil, Alfiyah (nazham), dan untuk sharafnya; Kitab al-Tashrif, Syarah
al-kailani, al-Maqsud (nazham), dan Imriti (nazham), dan lain-lain.
b) Dalam
cabang ilmu Fiqih:
Syarah Sittin Masalah, Fath’u al-Qarib (al-Bajuri),
fath’u al-Mu'in (I’anatu al-thalibin), al-Iqna’, fath’u al-Wahhab, ‘Uqudu al-Lujain,
Muhadzab, Bugyat’u al-Mustarsyidin, dan Kifaytu al-Akhyar. Untuk kelengkapan
ilmu fiqih biasanya juga dikenal ilmu ushul fiqih, diantara kitab-kitabnya: al-Mabadi
al-Awwaliyyah, al-Waraqat, dan Bidayatu’u al-Mujtahid.
c) Dalam
cabang ilmu ‘Aqaid/Tauhid:
Sifat dua puluh (arab melayu), Nuru al-Zhulam, Aqidatu
al-A’waam (nazham), Kifayatu al-Awam, al-Syarqawi, Jauharu al-Tauhid, Tuhfatu al-murid,
Fathu al-Majid.
d) Dalam
cabang ilmu Tasawwuf/Akhlak:
Akhlaqu li al-Banat, Akhlaqu li al-Banin, Ta’limul
al-Muta’allim, Maraqi al-Ubudiyyah, Kifayat al-Atqiya, Siraj al-Thalibin, Minhaju
al-A’bidin, Nasha’ih’u al-Diniyah, Irsyadu
al-‘Ibad, Tanbihu al-Ghafilin, al-Hikam, Risalatu al-Muawanah, Bidayatu al-Bidayah,
dan ihya ‘ulumu al-din.
e) Dalam
cabang ilmu Tafsir :
Tafsir al-Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Marah
Labid, Tafsir al-Qurtubi, Tafsir al-Munir, Tafsir Maraghi, Tafsir al-Manar dan Jami’u
al-Bayan.
f) Dalam
cabang ilmu Hadits :
Arba’in al-Nawawiyah, Bulughu al-Maram, Riyadhu al-Shalihin,
al-Azkar al-Nawawiyah, Shahih Muslim, Shahih-Bukhari, Tajridu al-Syarih, Majlishu
al-saniyyah.
g) Dalam
cabang ilmu Balaghah :
Balaghah al-wadhihah, Jauharu al-Balaghah, dan Jauharu
al-Maknun.
h) Dalam
cabang ilmu Faraidh :
Isaful haith (arab melayu), Tuhfat al-Saniyah, Syarah
Matan Rahbiyah, dan lain-lain
i) Dalam
cabang ilmu Tarikh :
Khulasah Nurul al-Yaqin, Nurul al-Yaqin, Muhammad
Rasulullah, Tarihk Khulafa, dan lain-lain.
Setelah melihat bidang studi, dan
kitab-kitab yang diajarkan, kami berpendapat bahwa ada ketidakseimbangan antara
kajian keagamaan dan kajian umum. Memang pada dasarnya pesantren berhak untuk mempertahankan
fungsi pokoknya, yaitu sebagai tempat tafaqquhfiddin (pendalaman agama).
Setidakanya dengan adanya pembelajaran ilmu yang berimbang antara agama dan
umum, dapat memberdayakan pemikiran santri menjadi berkembang lebih luas.
Selaian itu, perlu adanya tinjauan
ulang pada ajaran-ajaran agama yang diberikan dalam lingkungan pendidikan
pesantren yang sehingga lulusan-lulusannya mampu memberikan jawaban yang
komprehensif atas persoalan hidup umat Islam. Misalnya Kajian fiqih yang hanya
menganut satu madzhab dapat berakibat membelenggu kreativitas berfikir dan
mempersempit pemahaman atas elastisitas suatu hukum Islam. Alangkah baiknya
jika kita menambahkan pada kurikulum pesantren dengan mengenalkan perbandingan
madzhab, memang pada dasarnya masyarakat Indonesia mengacu pada madzhab syafi’i
dalam hal fiqihnya. Namun akan lebih baik jika kita melihat persoalan di masyarakat
dengan menggunakan pendekatan empat madzhab. Sehingga tidak mudah menyalahkan
orang lain.
Pada pesantren salafiyah, metode yang
digunakan cukup bervariasi, ada perbedaan antara satu pesantren dengan
pesantren lainnya. Berikut beberapa metodenya;
a)
Mencatat dan
Menghafal
Metode ini
berlaku terutama pada tahun-tahun pertama santri berada di pesantren. Di
wajibkannya santri mencatat di maksudkan agar tulisan santri bertambah baik
dari hari ke hari dan terbiasa menulis huruf Arab. Dengan mencatat santri juga
akan mudah mengingat, kemudian menghafalkannya. Jika di pagi hari siswa
mencatat pelajaran, di sore harinya mereka mengahfalkannya di depan ustadz
sebelum melanjutkan ke materi berikutnya, begitu pula sebaliknya sore mencatat,
paginya menghafal. Begitulah seterusnya.
Pada metode
ini, sering mengabaikan pemahaman santri terhadap apa yang dihafalkannya, akibatnya,
proses penghafalan sedikit lebih sulit dibandingkan menghafal pelajaran yang
sudah ia pahami, dan ini juga mengakibatkan kurangnya motivasi mereka dalam
menghafal, karena mereka tidak faham apa yang mereka hafal dan tidak mengerti
kegunaan materi yang mereka hafal.
b)
Kaji Duduk
Istilah kaji
duduk dipakai oleh masyarakat Kalimantan selatan untuk menyebut metode
pembelajaran yang digunakan di pondok pesantren salafiyah. Kaji duduk bermakna
mengkaji sambil duduk di lantai tanpa menggunakan kursi ataupun bangku seperti
di kelas formal. Kalau dalam banyak literatur tentang pesantren metode ini
disebut dengan dua istilah; 1) Sorogan, dan 2)
Bandungan (Sunda; di Jawa dikenal dengan istilah bandongan atau
wetonan). Sistem sorogan disebut pula dengan sistem
individual (individual learning). Sedangkan, sistem bandungan
(bandongan atau wetonan) disebut pula dengan sistem kolektif (collectival
Learning atau together learning).
1)
Sorogan
Sistem sorogan adalah sistem membaca
kitab secara individul, atau seorang murid nyorog (menghadap guru
sendiri-sendiri) untuk dibacakan (diajarkan) oleh gurunya beberapa bagian dari
kitab yang dipelajarinya, kemudian sang murid menirukannya berulang kali.
Pada prakteknya, seorang murid mendatangi guru yang akan membacakan kitab-kitab
berbahasa Arab dan menerjemahkannya ke dalam bahasa ibunya (misalnya: banjar).
Pada gilirannya murid mengulangi dan menerjemahkan kata demi kata (word by
word) sepersis mungkin seperti apa yang diungkapkan gurunya. Bisa juga santri langsung membaca suatu kitab di
hadapan kiyai, kemudian bila ada yang salah kiyai langsung membetulkannya.
Untuk metode
ini dirasakan terlalu menguras waktu hingga tidak efesien, dan lebih tepat
digunakan untuk santri yang kelompok belajarnya tidak banyak dan santri yang
sudah tahap muntahi (yang sudah lama belajar).
2)
Bandungan atau Wetonan
Sistem bandungan adalah sistem transfer keilmuan atau proses belajar
mengajar di mana kyai atau ustadz membacakan kitab, menerjemah dan menerangkan
kepada sekelompok santri. Sedangkan santri atau murid
mendengarkan, menyimak dan mencatat apa yang disampaikan oleh kyai. Kelompok
kelas dari sistem bandungan ini disebut
halaqoh yang artinya lingkaran murid yang belajar dibawah bimbingan seorang
guru atau kyai. Dalam sistem ini juga, metode-metode yang lain bisa diterapkan
seperti; ceramah, terjemah, tanya jawab, muzakarah (bahtsul masail).
Setelah kita melihat sistem dan
metodologi pembelajaran di atas, dapat kita simpulkan bahwa pesantren salafiyah
masih menggunakan system dan metode yang konvensional. Sebaiknya pesantren
mengupayakan pengembangan sistem dan metodologi pembelajarannya, setidaknya
agar proses pembelajaran lebih efektif dan efisien. Pengembangan ini dapat
berarti pemberdayaan dan pemerkayaan sistem dan metodologi.
Selain itu, dengan memperhatikan fungsi dan peranan pondok pesantren
yang sangat penting dalam pembangunan, maka pondok pesantren sebagai lembaga
pendidikan agama Islam
akan lebih mampu berperan apabila
sistem dan metode
pendidikan atau pengajaran dapat dikaitkan
dengan tuntutan perkembangan
ilmu pengetahuan atau teknologi modern serta tuntutan dinamika
masyarakat, agar setelah mereka lulus, mereka mendapat pengakuan dari
masyarakat.
Istilah evaluasi atau penilaian
(evalution), merupakan suatu proses untuk menentukan nilai dari suatu kegiatan
tertentu, dengan tujuan untuk mengetahui seberapa jauh hasil belajar yang
dicapai selama proses pendidikan atau pembelajaran yang telah dilaksanakan,
apakah hasil yang dicapai sesuai dengan yang diharapkan atau tidak, Selain itu,
juga untuk mengetahui apakah suatu mata pelajaran yang diajarkan dapat
dilanjutkan dengan bahan yang baru atau mengulangi kembali. Dan juga untuk mengetahui
taraf efesiensi metode yang digunakan dalam proses pembelajaran. Semua itu
untuk perbaikan dalam pembelajaran berikutnya.
Dalam dunia pesantren salafiyah
evaluasi dilakukan setiap selesai mempelajari suatu fan atau mata pelajaran
yang langsung dikelola oleh ustazd yang bersangkutan, sehingga santri
dinyatakan layak untuk naik ke kitab selanjutnya. Pada evaluasi semacam ini
sepertinya evaluasi hanya untuk mengukur sejauh mana kemampuan anak, dan
mengabaikan tujuan evaluasi yang lain, misalnya; untuk perbaikan proses pembelajaran
bagi guru, Untuk mengetahui efektifitas metode yang digunakan guru, dan
lain-lain.
Selain itu, prinsip-prinsip evaluasi
juga kurang diperhatikan diantaranya:
a) Prinsip
integralitas, evaluasi hasil bealajar yang tidak hanya menyangkut
konsep-konsep, tetapi meliputi; apresiasi, sikap minat, pemikiran kritis serta
penyesuain diri baik personal maupun sosial.
b) Prinsip
kontinuitas, diharapkan guru maupun ustdaz dalam menilai tidak hanya sekali
saja, melainkan berkesinambungan selama dalam proses pembelajaran.
Oleh karena itu, sebenarnya evaluasi
di pesantren bisa dilakukan dengan dua macam metode:
a)
Metode test, yaitu suatu cara
penilaian yang berbentuk suatu tugas yang harus dikerjakan oleh santri, bisa
dalam bentuk ujian tulis meliputi; essay, multiple choice (pilihan ganda), maching
(menjodohkan), maupun completation (melengkapi), ataupun lisan seperti;
hafalan, praktek, maupun penugasan (sesuai dengan kebijakan para ustad atau
ustadzah).
b)
Metode non-test, baik dalam bentuk
observasi. Dengan tujuan agar para santri mempu mempraktekkan suatu ilmu yang sudah
dikaji, dalam bentuk observasi santri sudah dilengkapi dengan instrumen.
5.
Program/Kegiatan Ekstra Kurikuler
Kurikulum
dipahami tidak hanya terbatas pada sejumlah mata pelajaran, tetapi meliputi
semua kegiatan dan pengalaman yang menjadi tanggung jawab sekolah. Dalam hal
ini tidak dipisahkan antara kegiatan intrakulikuler dan kegiatan
ekstrakulikuler.
Menurut
Hafni Lajdid, kegiatan ekstra kurikuler merupakan kegiatan belajar yang
dilakukan diluar jam pelajaran yang dilaksnakan disekolah utuk lebih memperluas
wawasan atau kemampuan, peningkatan dan penerapan nilai pengetahuan dan
kemampuan yang telah dipelajari dari berbagai mata pelajaran. Pada pondok
pesantren salafiyah Program/Kegiatan Ekstra Kurikuler meliputi;
a)
Pengajian kitab di mushalla atau di
rumah ustadz
b)
Kursus bahasa asing
c)
Muhadharah
d) Pembacaan syair-syair maulid.
e)
Tahfizh
al-Quran dan seni baca al-Quran
f)
Seni
khat dan kaligrafi
g)
Seni
bela diri, olahraga, dan lain-lain
6.
Kurikulum Tersembunyi
Kurikulum tersembunyi adalah merupan
bagian dari kurikulum, sebagaiamana sudah dijelaskan sebelumnya, kurikulum
tersembunyi adalah segala kegiatan atau aktifitas yang tidak berstruktur atau
tidak dirancang dalam kurikulum, yang berlaku ditempat pertemuan pelajar
seperti mushalla, asrama, kantin, dan perpustakaan. Dalam pesantren salafiyah “hidden
curriculum” dapat digambarkan sebagai berikut;
a)
Pendidikan Spritual, seperti; pelaksanaan
shalat wajib berjamaah, pembacaan al-Quran dan surah-surah tertentu (yasin,
waqi’ah, muluk), pembacaan wirid, dan dzikir, pembacaan shalawat, pembacaan
burdah, dalailul khairat, ratib-ratib, tahlil, dan puasa-puasa sunat.
b)
Pendidikan disiplin, seperti wajib
mentaati peraturan atau tata tertib di pondok.
c)
Pendidikan kebersihan dan kesehatan,
seperti membersihkan asrama, pekarangan, dan lingkungan pondok secara gotong
royong atau bergiliran yang diatur oleh organisasi santri.
Selain itu masih banyak lagi pendidikan-pendidikan lainnya dari kurikulum
tersembunyi, seperti; Pendidikan kebersamaan, toleransi, kemandirian,
kepemimpinan, dan lain-lain.
D. Proses
Pembelajaran Pesantren Salafiyah
Sebagaiamana yang sudah dikemukakan diatas kurikulum ada empat
dimensi, salah satunya adalah bahwa kurikulum sebagai kegiatan (proses), yaitu serangkaian pengalaman nyata yang
dialami peserta belajar dengan bimbingan sekolah,
ini meliputi;
1.
Perencanaan dan Persiapan Mengajar
Salah satu tugas penting guru
adalah membuat perencanaan dan persiapan
mengajar. Hal ini perlu dilakukan agar efektifitas dan efisiensi pembelajaran
dapat dicapai. Hamzah Uno, dkk. menyebutkan bahwa perlunya perencanaan dimakudkan
agar dapat dicapai perbaikan pembelajaran. Upaya perbaikan ini dilakukan dengan
asumsi bahwa untuk memperbaiki kualitas pembelajaran perlu diawali dengan perencanaan.[18]
Abdul Majid juga menyebutkan bahwa perencanaan pembelajaran memainkan peranan
penting dalam memandu guru untuk melaksanakan tugas sebagai pendidik dalam
melayani kebutuhan belajar siswanya.[19]
Dibawah ini akan digambarkan bagaimana perencanaan dan persiapan guru mengajar
pada pondok pesantren salafiyah.
Pada
pesantren salafiyah, guru-guru belum memiliki perencanaan atau persiapan
mengajar secara tertulis. Terkait dengan
strategi apa yang akan digunakan dalam kegiatan belajar mengajar, bagaimana
teknis evaluasinya, dan apa saja media pembelajarannya, ada didalam benak
masing-masing guru, dan banyak dipengaruhi oleh pengalaman guru mereka ketika
mereka masih menjadi santri. Sedangkan kitab pegangan dan mata pelajaran apa
yang akan diajarkan, serta kelompok mana yang akan diajar, waktu dan tempat
pembelajaran, para guru sudah bisa mengetaui dari Bagian Pengajaran Pondok
Pesantren. Dalam hal ini yang pertama-tama dilakukan guru adalah; 1) menyiapkan
kitab pegangan sesuai degan mata peajaran yang akan diajarkan. Kemudian 2) menentukan
batas awal dan batas akhir suatu materi pelajaran yang terdapat didalam kitab
pegangan untuk suatu pertemuan/tatap muka.
Secara
umum persiapan yang dilakukan oleh guru sebelum mengajar adalah sebagai
berikut: (1) menelaah materi suatu kitab tertentu yang akan diajarkannya kepada
santri dalam pertemuan/tatap muka baik dikelas, mushalla maupun diruang
belajar lainnya; (2) Menelaah atau
mempelajari kitab-kitab lain yang punya keterkaitan dengan persoalan serupa
terhadap materi yang akan diajarkan. Dalam hal ini mereka membuka kembali
kitab-kitab tertentu minimal satu tingkat di atasnya, dan kitab-kitab yang
menjadi rujukan ustadz (3) Membuat catatan-catatan khusus tentang
masalah-masalah yang dianggap penting dari hasil penelaahan terhadap
kitab-kitab yang akan diajarkan; (4) Merancang dan mempersiapkan alat bantu
yang dibutuhkan untuk mengajarkan materi pelajaran.
Dengan
demikian, pada dasarnya guru-guru pada pondok pesantren salafiyah sudah
melakukan pesiapan mengajar, hanya saja persiapan itu tidak tertulis, tentu
sulit untuk dipelajari apalagi untuk dievaluasi. Maka idealnya perencanaan atau
persiapan mengajar dibuat oleh guru secara tertulis walaupun sesederhana
mungkin. Dengan kata lain setiap guru yang akan mengajar harus mempunyai
perencanaan dan persiapan mengajar yang matang, baik dalam lingkup materi ajar
maupun langkah-langkah konkrit yang akan ditempuh selama mengajar. Dalam
konteks ini para ustadz di Pondok Pesantren diwajibkan membuat perencanaan
mengajar yang lazim disebut “I’dâd al Tadrîs”.
Tapi terlepas dari itu, apapun bentuk
perencanaan mengajar yang dibuat, yang jelas perencanaan itu amat penting bagi
guru, kalau tidak, bukan hanya santri yang tidak terarah dalam proses
belajarnya tetapi guru juga tidak akan terkontrol.
2.
Pengelolaan Kelas
Pengelolaan
kelas merupakan salah satu bagian penting dalam proses pembelajaran, tidak
terkecuali di lembaga pendidikan pesantren salafiyah. Sebab kemampuan
memberikan pelajaran saja tanpa dibarengi dengan kemampuan mengorganisasi
kelas, tidak akan memberi prestasi belajar seperti yang diharapkan.[20]
Pengelolaan
kelas di pesantren salafiyah menerapkan naik kitab, di mana kelas hanya
merupakan tempat belajar. Dalam hal ini pengelolaan kelas berada di bawah tanggung jawab seorang ketua atau
coordinator. Pola seperti ini pengelolaan kelas bersifat sederhana di mana
tugas seorang ketua atau koordinatur hanya memegang absen hadir, dan mengurus hal-hal teknis lainnya terutama yang
berhubungan dengan kelompok belajarnya. Kelas sebagai tempat belajar tidak
memiliki struktur formal seperti wali kelas maupun struktur kelas. Hanya saja
guru yang mengajar di kelas atau kelompok belajar tersebut, di samping mengajar
ia juga berperan sebagai pembimbing.
Sebagai pengajar, guru terikat dengan waktu dan bahan ajar. Sebaliknya
sebagai pembimbing guru tidak terikat dengan waktu dan bahan ajar. Sesekali ia
bisa mengontrol kelompok belajar yang di bimbingnya, jika kelompok belajar
tersebut diminta untuk mengulang pelajaran di luar jam yang ditentukan. Di
sisni peran guru tidak lagi mengajar tapi membimbing santri yang sedang
belajar, guru dapat melakukan banyak hal seperti meluruskan bacaan santri
terhadap suatu kitab, membetulkn hafalan santri, atau menjawab pertanyaan
santri yang belum faham terhadap pelajaran yang sedang dibaca.
Hal
ini akan berbeda jika di bandingkan dengan sistem klasikal, selain santri naik
kelas pada priode tertentu, pengelolaan kelas lebih komplek karena berada di
bawah tanggung jawab wali kelas dan organisasi kelas. Implikasi dari
pengelolaan kelas seperti ini adalah terciptanya kerja sama antara guru
(terutama wali kelas) dengan santri. Disadari atau tidak santri sudah mulai
diajarkan berorganisasi pada livel kelas dan ditanamkan sense of
responsibility terhadap kelas yang ditempatinya.
3.
Sarana dan Media Pembelajaran
Dalam
proses belajar mengajar kehadiran media mempunyai arti yang cukup penting,
seperti ketidak jelasan bahan yang disampaikan dapat dibantu dengan
menghadirkan media sebagai perantara, kerumitan
bahan yang disampaikan kepada santri dapat disederhanakan dengan bantuan
media, dan lain-lain.
Pada
pesantren salafiyah sarana yang digunakan adalah mushalla, ruang kelas, rumah
ustazd, dan rumah kiyai. Media yang digunakan papan tulis dan kapur atau
spidol. Hal ini sangat berbeda dengan pesantren khalafiyah yang lebih
memanfaatkan teknologi, seperti laboratorium bahasa, dan untuk medianya
menggunakan audio visual. Untuk pesantren salafiyah sebenarnya bisa juga
mengupayakan tersedianya sumber belajar dan media pendidikan yang berbasis
teknologi, saat ini sudah banyak hadist-hadist yang telah di-CD-kan, atau
tafsir dan kitab-kitab lainnya yang termuat dalam program maktabah syamilah,
selain memudahkan bagi ustadz juga memperkaya sumber belajar bagi santri.
Pondok
pesantren harus memandang bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi,
sebagai sesuatu yang harus diantisipasi dengan memahami, kemudian mengambil
langkah memperbaharui sistem dengan mempertahankan budaya santri yang ada,
tetapi juga memanfaatkan kemajuan yang terjadi dengan menciptakan alat-alat
pembelajaran yang sesuai dengan kemajuan zaman, karena agama menganjurkan supaya
kita melakukan pembelajaran sesuai dengan zamannya (sholihun li kuli makan wa
zaman).
Maka
sudah saatnya pesantren mengadopsi hal-hal yang baru (khalafiyah) namun tetap
memepertahankan nilai-nilai otentik pesantren (salafiyah), dan sekiranya suatu
saat nanti terjadi proses konvergensi antara paradigma-paradigma pendidikan
umum Indonesia dengan sistem tradisional yang merupakan wajah asli dari
paradigma pendidikan pesantren itu sendiri. Sehingga dunia pesantren tidak akan
tertinggal, dengan lembaga pendidikan lainnya, dan semuanya tetap terbingkai
dalam nilai-nilai keislaman.
4.
Sistem Pembelajaran
Sistem
pembelajaran pada pesantren salafiyah adalah sistem non klasikal atau system
naik kitab, dalam sistem ini keberhasilan belajar diukur dari menguasai tidaknya
seorang santri terhadap suatu kitab yang dipelajari melalui ujian naik kitab.
Ketuntasan belajar sangat ditekankan dalam pola ini. Kelaspun hanya berfungsi
sebagai tempat pembelajaran. Oleh karena itu, dalam hal tempat pembelajaran sistem
ini sebenarnya lebih luwes dan flesibel dibandingkan dengan sistem klasikal.
Keberadaan santri dalam suatu kelompok belajar tergantung pada berapa lama ia
mampu menguasai suatu kitab yang diajarkan ustadz.
Pada
sistem ini, ketuntasan belajar untuk menguasai suatu kitab dapat
direalisasikan, namun demikian, batas waktu berapa lama seorang santri dapat
menyelesaikan suatu kitab tertentu tidak ada kejelasan dan kepastian sehingga
tidak efisien.
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari pembahasan diatas dapat
disimpulkan bahwa:
1.
Kurikulum
adalah rencana tertulis tentang kemampuan yang harus dimiliki berdasarkan
standar nasional, materi yang perlu dipelajari, dan pengalaman belajar yang
harus dijalani untuk mencapai kemampuan tersebut, dan evaluasi yang perlu
dilakukan untuk menentukan tingkat pencapaian kemampua peserta didik dalam
mengembangkan potensi dirinya pada satuan pendidikan tertentu.
2.
Kurikulum ada empat dimensi yakni: 1) kurikulum
sebagai ide atau
gagasan, 2) kurikulum
sebagai rencana tertulis,
3) kurikulum sebagai kegiatan (proses), dan 4) kurikulum sebagai hasil belajar
3.
Pesantren
salafiyah adalah pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab
Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren.
4.
Secara
umum kurikulum pendidikan pesantren meliputi; Materi (Bidang Studi),
Kitab-Kitab yang Dijadikan Refrensi, Metode Pembelajaran Dan Sistem Evaluasi.
5.
Program
ekstra kurikuler merupakan kegiatan belajar yang dilakukan diluar jam pelajaran
yang dilaksnakan disekolah utuk lebih memperluas wawasan atau kemampuan,
peningkatan dan penerapan nilai pengetahuan dan kemampuan yang telah dipelajari
dari berbagai mata pelajaran..
6.
Kurikulum tersembunyi adalah segala
kegiatan atau aktifitas yang tidak berstruktur atau tidak dirancang dalam
kurikulum, yang berlaku ditempat pertemuan pelajar.
7.
Kurikulum sebagai kegiatan (proses), yaitu serangkaian pengalaman nyata yang
dialami peserta belajar dengan bimbingan sekolah.
8.
Proses pembelajaran pesantren
salafiyah meliputi; Perencanaan dan Persiapan Mengajar, Pengelolaan Kelas, Sarana
dan Media Pembelajaran, Sistem Pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, Bandung,
Remaja Rosdakarya, 2005
Abdurrahman Wahid, Kurikulum Pesantren dan Penyediaan
Lapangan Kerja “Dalam Bunga Rampai Pesantren”, Jakarta, CV Dharma
Bhakti, tt
Abuddin Nata, Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta, Logos wacana Ilmu, 2001
Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan dalam Persepektif Islam,Bandung, Rosdakarya, 1994
AninNurhayati, Kurikulum Inovasi, Telaah Terhadap
pengembangan kurikulum Pendidikan Pesantren, Yogyakarta, Teras, 2010
Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta, Balai
Pustaka, 2005
Dr. Salamah, M. Pd, Pengembangan Model Kurikulum Holistik
Pendidikan Agama Islam Pada Madrasah Tsanawiyah, Yogyakarta, Aswaja Pressindo,
2016
Drs. H.M. Sulthon Masyhud, M.Pd. dan Drs. Moh. Khusnurdhilo, M. Pd. Manajemen
Pondok Pesantren, Jakarta, Diva Pustaka, 2004
Drs. Yasmadi, M.A, Modernisasi Pesantren, Jakarta,
Ciputat Press, 2002
Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi
Pesantren, Sekolah dan Madrasah , Yogyakarta, Tiara Wacana, 2001
Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret
Perjalanan, Jakarta, Paramadina, 1997
Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum,
Bandung, Remaja Rosdakarya, 2006
Prof. Dr. Mujamil Qomar, Pesantren : Dari Tarnsformasi
Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta, Erlangga, 2005
Syaiful Sagala, konsep dan makna pembelajaran, Bandung,
Alfabeta, 2006
Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nur Cholis Madjid
Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, Jakarta, Ciputat Press, 2002
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren , Jakarta,
LP3ES, 2011
[1] Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren,
Sekolah dan Madrasah , (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), h. 9
[2] Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nur Cholis Madjid
Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h.78
[3] Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 160
[4] Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan dalam Persepektif Islam, (Bandung: Rosdakarya, 1994), hal.83
[5] AbuddinNata, Filsafat
Pendidikan Islam , (Jakarta: Logos wacana Ilmu, 2001), h.127
[7] Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2006), h. 91
[8] Salamah, Pengembangan Model Kurikulum
Holistik Pendidikan Agama Islam Pada Madrasah
Tsanawiyah, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2016), h. 15-16
[9] Ibid. h. 15
[10] Anin Nurhayati, Kurikulum Inovasi, Telaah Terhadap pengembangan
kurikulum Pendidikan Pesantren, (Yogyakarta: Teras, 2010), h. 64
[11] Abdurrahman Wahid, Kurikulum Pesantren dan Penyediaan Lapangan
Kerja “Dalam Bunga Rampai Pesantren” , (Jakarta: CV Dharma Bhakti,
tt), h.135
[12] Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi: Pesantren,
Sekolah dan Madrasah, h. 32-34
[13] Prof. Dr. Mujamil Qomar, Pesantren : Dari Tarnsformasi
Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2005),
h.110-112
[14] Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret
Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997). h. 7-12
[15] Drs. Yasmadi, M.A, Modernisasi Pesantren, (Jakarta: Ciputat
Press, 2002), hal.68-70
[16] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren , (Jakarta: LP3ES,
2011), h. 54
[17] Drs. H.M. Sulthon Masyhud, M.Pd. dan Drs. Moh. Khusnurdhilo, M. Pd.
Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2004), h.104-105
[18] Hamzah Uno, dkk.,Perencanaan Pembelajaran Teori Dan Praktek,
h. 5 Lihat juga Syaiful Sagala, konsep dan makna pembelajaran, (Bandung:
Alfabeta, 2006), h. 136
[19] Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, (Bandung:
Remaja Rosdakarya,2005), h. 22
[20] Made Pidarta, Pengelolaan Kelas, (Surabaya: Usaha Nasional,
tt), h. 5
2 komentar
izin ambil beberapa bagian sebagai tambahan referensi skripsi
Izin download buat referensi
EmoticonEmoticon