BEBERAPA
TEORI TENTANG BELAJAR
Oleh:
Wahyudin
Noor (NIM: 1502521482)
Muhammad
Ikhwan Fadilah (NIM: 1502521481)
TUGAS
TERSTRUKTUR
MATA
KULIAH
TEORI
DAN PRAKTIK BELAJAR MENGAJAR
DOSEN
PENGAMPU:
Dr. H.
Ridhahani Fidzi, M.Pd
PASCASARJANA
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BANJARMASIN
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Istilah belajar sebenarnya telah lama dan banyak dikenal. Bahkan
pada era sekarang ini, hampir semua orang mengenal istilah belajar. Namun apa
sebenamya belajar itu, rasanya masing-masing orang mempunyai tangkapan yang
tidak sama. Sejak manusia ada, sebenarnya ia telah melaksanan aktivitas
belajar.
Oleh sebab itu, kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa aktivitas itu telah ada sejak adanya manusia. Mengapa manusia melaksanakan aktivitas belajar ? Jawabannya adalah karena belajar itu salah satu kebutuhan manusia. Bahkan ada ahli yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk belajar. Oleh karena manusia adalah makhluk belajar, maka sebenarnya di dalam dirinya terdapat potensi untuk diajar.
Oleh sebab itu, kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa aktivitas itu telah ada sejak adanya manusia. Mengapa manusia melaksanakan aktivitas belajar ? Jawabannya adalah karena belajar itu salah satu kebutuhan manusia. Bahkan ada ahli yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk belajar. Oleh karena manusia adalah makhluk belajar, maka sebenarnya di dalam dirinya terdapat potensi untuk diajar.
Belajar merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi dan berperan penting dalam pembentukan pribadi dan perilaku
individu. Salah
satu definisi modern dari
Gintings tentang
belajar menyatakan bahwa belajar adalah pengalaman
terencana yang membawa perubahan tingkah laku. Belajar
dimanifestasikan dengan adanya perubahan tingkah laku, yaitu tingkah laku yang
dapat diamati (Observable behavior).[1]
Perubahan di sini menyangkut perubahan afektif, kognitif & psikomotor.
B.
Rumusan Masalah
Adapun masalah yang ingin diajukan
pada makalah ini yaitu sebagai berikut:
1.
Apakah belajar itu?
2.
Apakah belajar pasti menghasilkan perubahan
perilaku?
3.
Apa saja perbedaan di antara jenis-jenis
belajar ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Belajar
Belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting
dalam pembentukan pribadi dan perilaku individu. Nana Syaodih Sukmadinata menyebutkan
bahwa sebagian terbesar perkembangan individu berlangsung melalui kegiatan
belajar[2].
Banyak pakar belajar sejak dini
mengemukakan bahwa tidak ada satu definisi belajar-pun yang dapat diterima
banyak orang. Belajar merupakan salah satu topik paling penting dalam psikologi
masa kini, namun belajar merupakan konsep yang sangat sulit untuk didefinisikan
. Meskipun demikian beberapa ahli mencoba mendefinisikan belajar dengan asumsi
bahwa definisi tersebut telah mengandung aspek-aspek utama belajar. Adapun
definisi tersebut antara lain :
1.
Secara Etimologis
Menurut kamus besar bahasa
Indonesia, belajar memiliki arti “berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu”.
Definisi ini memiliki arti bahwa belajar adalah sebuah kegiatan untuk mencapai
kepandaian atau ilmu, yang merupakan usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya
agar mendapatkan ilmu atau kepandaian yang belum dimiliki sebelumnya. Sehingga
dengan belajar itu manusia menjadi tahu, mengerti, memahami, dapat melaksanakan
dan memiliki sesuatu.
2.
Secara Terminologis
a. Cronbach
(1954)
Belajar yang
terbaik adalah melalui pengalaman. Karena dengan pengalaman tersebut, pelajar
menggunakan seluruh panca indranya.
b. Kimble (1961)
Belajar adalah
sebagai perubahan yang relatif permanen di dalam behavioral potentiality yang
terjadi akibat dari praktik yang diperkuat.[3]
c.
Hilgard & Bower (1975)
Belajar adalah proses timbulnya suatu
aktivitas ataupun bertambahnya suatu aktivitas, yang terjadi karena reaksi
terhadap situasi yang dialami, sedangkan perubahan tadi bukan sebagai respon
bawaan atau kematangan (maturity) atau keadaan sementara dari organisme.
(misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya),
jadi belajar adalah
diperolehnya kebiasaan, pengetahuan dan sikap baru.[4]
d. Morgan
dkk (1984)
Belajar adalah setiap perubahan yang
relatif permanen atau menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai hasil
dari pengalaman atau latihan.
e. Skinner
(1985)
Belajar
adalah “the teaching learning prosess” yakni bahwa belajar adalah suatu proses
adaptasi atau penyesuain tingkah laku yang berlangsung secara progresif.[5]
f.
Anderson (1995).
Belajar adalah suatu proses, yang mana
perubahan-perubahan yang terjadi bersifat relatif permanen dalam potensi
perilaku sebagai suatu akibat pengalaman.
g. Moh.
Surya (1997)
Belajar
dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh
perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman
individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya.[6]
h.
Thursan
Hakim, Belajar Secara Efektif ( 2005 )
Belajar adalah suatu proses perubahan di dalam
kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk
peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan,
pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir, dan
lain-lain kemampuan
Maka dari pendapat para ahli pendidikan seperti tersebut
diatas dapat simpulkan bahwa “belajar adalah suatu proses kegiatan atau usaha
yang dilakukan oleh seseorang secara sadar dalam berinteraksi dengan lingkungannya
sehingga diperoleh kecakapan-kecakapan yang baru yang mengakibatkan terjadinya
perubahan tingkah laku didalam dirinya berupa pengetahuan, sikap dan
keterampilan.
Belajar
dimanifestasikan dengan adanya perubahan tingkah laku, yaitu tingkah laku yang
dapat diamati (Observable behavior). Perubahan di sini menyangkut
perubahan afektif, kognitif & psikomotor.
a.
Perubahan
tersebut sifatnya relatif permanen, yaitu bertahan cukup lama, tetapi juga
tidak menetap terus menerus, bisa berubah lagi dalam proses belajar
selanjutnya.
b.
Perubahan
tingkah laku tersebut merupakan hasil dari pengalaman atau latihan, terjadinya
perubahan karena adanya unsur usaha atau pengaruh dari luar.
c.
Perubahan
tersebut tidak harus segera nampak mengikuti pengalaman belajar itu, atau nampak
pada saat itu juga, tapi dapat nampak pada saat lain.
B.
Perubahan Tingkah
Laku
1.
Ciri – Ciri Dari
Perubahan Tingkah Laku
Dari
beberapa pengertian belajar tersebut diatas, kata kunci dari belajar adalah
perubahan tingkah laku. Terbentuknya perilaku dapat
terjadi karena proses kematangan dan dari proses interaksi dengan lingkungan.
Proses interaksi dengan lingkungan inilah yang paling besar pengaruhnya
terhadap perilaku manusia. Terbentuknya dan perubahan perilaku karena proses
interaksi antara individu dengan lingkungan ini melalui suatu proses yakni
proses belajar. Oleh sebab itu, perubahan perilaku dan proses belajar itu
sangat erat kaitannya. Perubahan perilaku merupakan hasil dari proses belajar.
Dalam hal
ini, Moh Surya (1997) mengemukakan ciri-ciri dari perubahan tingkah laku, yaitu
:
a. Perubahan
yang disadari dan disengaja (intensional).
Perubahan
perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu yang
bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan
menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan, misalnya pengetahuannya
semakin bertambah atau keterampilannya semakin meningkat, dibandingkan sebelum
dia mengikuti suatu proses belajar. Misalnya, seorang mahasiswa sedang belajar
tentang psikologi pendidikan. Dia menyadari bahwa dia sedang berusaha
mempelajari tentang Psikologi Pendidikan. Begitu juga, setelah belajar
Psikologi Pendidikan dia menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan
perilaku, dengan memperoleh sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang
berhubungan dengan Psikologi Pendidikan.
b. Perubahan yang
berkesinambungan (kontinyu).
Bertambahnya
pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya merupakan kelanjutan
dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya. Begitu juga,
pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah diperoleh itu, akan menjadi
dasar bagi pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan berikutnya.
Misalnya, seorang mahasiswa telah belajar Psikologi Pendidikan tentang “Hakekat
Belajar”. Ketika dia mengikuti perkuliahan “Teori dan Praktik Belajar
Mengajar”, maka pengetahuan, sikap dan keterampilannya tentang “Hakekat
Belajar” akan dilanjutkan dan dapat dimanfaatkan dalam mengikuti perkuliahan “Teori
dan Praktik Belajar Mengajar”.
c. Perubahan
yang fungsional.
Setiap
perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup
individu yang bersangkutan, baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa
mendatang. Contoh: seorang mahasiswa belajar tentang psikologi pendidikan, maka
pengetahuan dan keterampilannya dalam psikologi pendidikan dapat dimanfaatkan
untuk mempelajari dan mengembangkan perilaku dirinya sendiri maupun mempelajari
dan mengembangkan perilaku para peserta didiknya kelak ketika dia menjadi guru.
d. Perubahan
yang bersifat positif.
Perubahan
perilaku yang terjadi bersifat normatif dan menujukkan ke arah kemajuan.
Misalnya, seorang mahasiswa sebelum belajar tentang Psikologi Pendidikan
menganggap bahwa dalam dalam Proses Belajar Mengajar tidak perlu
mempertimbangkan perbedaan-perbedaan individual atau perkembangan perilaku dan
pribadi peserta didiknya, namun setelah mengikuti pembelajaran Psikologi
Pendidikan, dia memahami dan berkeinginan untuk menerapkan prinsip – prinsip
perbedaan individual maupun prinsip-prinsip perkembangan individu jika dia
kelak menjadi guru.
e. Perubahan
yang bersifat aktif.
Perubahan bersifat aktif
berarti bahwa perubahan tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan karena usaha
individu sendiri. Oleh karena itu perubahan tingkah laku karena proses
kematangan yang terjadi karena sendirinya karena dorongan dari dalam tidak
termasuk perubahan dalam pengertin belajar.
Untuk
memperoleh perilaku baru, individu yang bersangkutan aktif berupaya melakukan
perubahan. Misalnya, mahasiswa ingin memperoleh pengetahuan baru tentang
psikologi pendidikan, maka mahasiswa tersebut aktif melakukan kegiatan membaca
dan mengkaji buku-buku psikologi pendidikan, berdiskusi dengan teman tentang
psikologi pendidikan dan sebagainya.
f. Perubahan
yang bersifat relatif permanen.
Perubahan
perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi
bagian yang melekat dalam dirinya. Misalnya, mahasiswa belajar mengoperasikan
komputer, maka penguasaan keterampilan mengoperasikan komputer tersebut akan
menetap dan melekat dalam diri mahasiswa tersebut.
g. Perubahan
yang bertujuan dan terarah.
Individu
melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan
jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Misalnya, seorang
mahasiswa belajar psikologi pendidikan, tujuan yang ingin dicapai dalam panjang
pendek mungkin dia ingin memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang
psikologi pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk kelulusan dengan memperoleh
nilai A. Sedangkan tujuan jangka panjangnya dia ingin menjadi guru yang efektif
dengan memiliki kompetensi yang memadai tentang Psikologi Pendidikan. Berbagai
aktivitas dilakukan dan diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
h. Perubahan
Perilaku Secara Keseluruhan (mencakup seluruh aspek tingkah laku)
Perubahan
perilaku belajar bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata, tetapi
termasuk memperoleh pula perubahan dalam sikap dan keterampilannya. Misalnya,
mahasiswa belajar tentang “Teori-Teori Belajar”, disamping memperoleh informasi
atau pengetahuan tentang “Teori-Teori Belajar”, dia juga memperoleh sikap
tentang pentingnya seorang guru menguasai “Teori-Teori Belajar”. Begitu juga,
dia memperoleh keterampilan dalam menerapkan “Teori-Teori Belajar”.
2.
Bentuk Perubahan
Tingkah Laku Dari Hasil Belajar.
Menurut Gagne, perubahan perilaku yang merupakan hasil
belajar dapat berbentuk :
a. Informasi
verbal; yaitu
penguasaan informasi dalam bentuk verbal, baik secara tertulis maupun tulisan,
misalnya pemberian nama-nama terhadap suatu benda, definisi, dan sebagainya.
b. Kecakapan
intelektual; yaitu keterampilan individu dalam melakukan interaksi dengan
lingkungannya dengan menggunakan simbol-simbol, misalnya: penggunaan simbol
matematika. Termasuk dalam keterampilan intelektual adalah kecakapan dalam
membedakan (discrimination), memahami konsep konkrit, konsep abstrak,
aturan dan hukum. Ketrampilan ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi pemecahan
masalah.
c. Strategi
kognitif; kecakapan individu untuk melakukan pengendalian dan pengelolaan
keseluruhan aktivitasnya. Dalam konteks proses pembelajaran, strategi kognitif
yaitu kemampuan mengendalikan ingatan dan cara – cara berfikir agar terjadi
aktivitas yang efektif. Kecakapan intelektual menitikberatkan pada hasil
pembelajaran, sedangkan strategi kognitif lebih menekankan pada pada proses
pemikiran.
d. Sikap; yaitu hasil pembelajaran yang
berupa kecakapan individu untuk memilih macam tindakan yang akan dilakukan.
Dengan kata lain. Sikap adalah keadaan dalam diri individu yang akan memberikan
kecenderungan bertindak dalam menghadapi suatu obyek atau peristiwa, didalamnya
terdapat unsur pemikiran, perasaan yang menyertai pemikiran dan kesiapan untuk
bertindak.
e. Kecakapan
motorik; ialah
hasil belajar yang berupa kecakapan pergerakan yang dikontrol oleh otot dan
fisik.
Sementara itu, Moh. Surya (1997)
mengemukakan bahwa hasil belajar akan tampak dalam :
a. Kebiasaan;
seperti : peserta didik belajar bahasa berkali-kali menghindari kecenderungan
penggunaan kata atau struktur yang keliru, sehingga akhirnya ia terbiasa dengan
penggunaan bahasa secara baik dan benar.
b. Keterampilan;
seperti : menulis dan berolah raga yang meskipun sifatnya motorik,
keterampilan-keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan
kesadaran yang tinggi.
c. Pengamatan;
yakni proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk
melalui indera-indera secara obyektif sehingga peserta didik mampu mencapai
pengertian yang benar.
d. Berfikir
rasional dan kritis yakni menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar
pengertian dalam menjawab pertanyaan kritis seperti “bagaimana” (how)
dan “mengapa” (why).
e. Perilaku
afektif yakni perilaku yang bersangkutan dengan perasaan takut, marah, sedih,
gembira, kecewa, senang, benci, was-was dan sebagainya.
C.
Teori-Teori
Belajar
Dalam terminologi pendidikan,
terdapat tiga kerangka filosofi yang mendalami hakikat manusia yang mendasari
lahirnya teori-teori belajar, yaitu: teori
belajar behaviorisme, kognitivisme dan konstruktivisme.
Teori
behaviorisme mulai berkembang secara pesat pada tahun 1950-an, yang dicetus oleh Gage
dan Berliner, yang mempelajari tentang perubahan tingkah laku manusia sebagai
produk dari pengalaman yang diterimanya. Aliran ini mengedepankan
pengukuran perubahan dan terbentuknya perilaku pembelajar yang tampak sebagai
bentuk hasil proses belajar.
Behaviorisme adalah pandangan yang menyatakan
bahwa perilaku harus dijelaskan melalui pengalaman yang dapat diamati, bukan
dengan proses mental. Menurut kaum behavioris, perilaku adalah segala sesuatu
yang kita lakukan dan bisa diamati secara langsung; seperti, siswa membuat
poster, guru tersenyum pada siswa, murid mengganggu murid lain, dan sebagainya.
Sedangkan, proses mental didefinisikan sebagai pikiran, perasaan, dan motif
yang kita alami namun tidak dapat dilihat oleh orang lain. Meskipun kita tidak
dapat melihat pikiran, perasaan, dan motif secara langsung, semua itu adalah
sesuatu yang riil. Contoh proses mental dalam proses pembelajaran adalah
seperti pemikiran siswa tentang cara membuat poster, perasaan senang guru
terhadap muridnya, dan motivasi anak untuk mengontrol perilakunya.[7]
Teori
behavioristik berawal dari hasil penelitian mengenai hubungan stimulus-respon, yang
dilakukan pertama kali oleh Pavlov dengan percobaan pada anjing dan eksperimen
B.F. Skinner dengan simulasi kotak skinner terhadap tikus. Dalam
perkembangannya konsep behaviorisme ditransformasikan kedalam proses pendidikan
yang notabene subjek dan objeknya adalah manusia. Behavioristik mendalami perkembangan perilaku objek yang nyata dan dapat diukur, diamati
dan dihasilkan oleh objek tersebut terhadap rangsangan yang diberikan, sebagai
respon dari proses pembelajaran/perlakuan. Tanggapan terhadap rangsangan
tersebut, dapat diperkuat dengan penguatan/reinforcement.
Penguatan itu bisa berupa positif atau negatif terhadap perilaku kondisi yang
diinginkan. Penguatan positif dianalogikan sebagai reward dan penguatan negatif merupakan funishment/hukuman. Keduanya digunakan untuk mengkonfirmasi
tindakan yang harus dilakukan atau tindakan yang harus dihindari oleh objek. Sehingga
teori belajar ini mengutamakan perlakuan dan pengaruh eksternal pembelajar
terhadap keberhasilan proses pembelajarannya.
Ciri dari teori ini mengutamakan
unsur-unsur yang spesifik, bersifat mekanistis, peranan lingkungan eksternal
yang dominan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan
pentingnya latihan, penekanan pada hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan
dan hasil belajar yang diperoleh merupakan tumbuhnya perilaku yang diinginkan.
Dalam konteks pembelajaran, siswa
cenderung pasif dan proses pembelajaran didominasi oleh guru yang memposisikan
perannya sebagai sumber ilmu dan pembelajaran. Peserta didiknya menggunakan
tingkat kemampuan berfikir yang rendah untuk memahami materi. Behavioristik
memposisikan ilmu sebagai material yang permanen dan statis, sehingga keilmuan menjadi
terisolasi dan kurang aktual karena tidak mengikuti situasi dan tren yang terus
berkembang.
2. Teori Kognitifisme
Istilah cognitive
berasal dari kata cognition yang
padanannya adalah kata knowing,
berarti mengetahui. Dalam arti yang luas, menurut Neisser sebagaimana dikutip
Muhibbin Syah dalam bukunya Psikologi
Belajar, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan, dan penggunaan
pengetahuan.[8]
Selanjutnya istilah kognitif menjadi populer sebagai salah satu domain atau
ranah psikologis manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan
dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah,
kesengajaan, dan keyakinan.[9]
Senada
dengan hal tersebut dalam Wasty Soemanto disebutkan bahwa para ahli psikologi
berpendapat bahwa tingkah laku seseorang selalu didasarkan pada kognisi, yaitu
suatu perbuatan mengetahui atau perbuatan pikiran terhadap situasi di mana
tingkah laku itu terjadi.[10]
Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan
memperoleh insight untuk pemecahan
masalah.[11]
Menurut
teori ini yang utama pada kehidupan manusia adalah mengetahui (knowing) bukan respons. Menurut teori
ini perilaku juga penting sebagai indikator, tetapi yang lebih penting adalah
berpikir. Sehubungan dengan berpikir, pada manusia terbentuk struktur mental
atau organisasi mental. Pengetahuan terbentuk melalui proses pengorganisasian
pengetahuan baru dengan struktur yang telah ada, setelah pengetahuan baru
tersebut diinterpretasikan oleh struktur yang ada tersebut.[12]
Pencetus aliran kognitivisme adalah Ulric Neisser (1967), dalam sebuah
bukunya yang berjudul “cognitive
psychology”. Selanjutnya diikuti oleh peneliti yang mengembangkan teori ini
seperti Ausubel, Bruner, dan Gagne. (Neissser, 1976). Kognitivisme memiliki
perspektif bahwa para peserta didik memproses informasi dalam pembelajaran
melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan
antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Sehingga
kognitivisme menekankan pada bagaimana informasi diproses.
Aliran ini telah
memberikan kontribusi terhadap penggunaan
unsur kognitif atau mental dalam proses belajar. Berbeda dengan pandangan
aliran behavioristik yang memandang belajar sebagai kegiatan yang bersifat
mekanistik antara stimulus dan respon, aliran kognitif memandang kegiatan
belajar bukanlah sekedar stimulus dan respon yang bersifat mekanistik, tetapi
lebih dari itu, kegiatan belajar juga melibatkan kegiatan mental yang ada di
dalam diri individu yang sedang belajar. Oleh karena itu, menurut aliran
kognitif, belajar adalah sebuah proses mental yang aktif untuk mencapai,
mengingat, dan menggunakan pengetahuan. Sehingga perilaku yang tampak pada manusia
tidak dapat diukur dan diamati tanpa melibatkan proses mental seperti motivasi,
kesengajaan, keyakinan, dan lain sebagainya.[13]
Menurut perspektif
psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan
peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang
bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam setiap peristiwa belajar siswa.
Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis,
misalnya, tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut dan tangan)
untuk mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan
kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata
respons atas stimulus (rangsangan) yang ada, melainkan yang lebih penting
karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya.[14]
Kerangka kerja atau dasar pemikiran dari teori
pendidikan kognitivisme adalah rasional. Teori ini memiliki asumsi filosofis,
yaitu the way in which we learn.
Pengetahuan seseorang diperoleh berdasarkan pemikiran. Dalam buku landasan
Pendidikan; Konsep dan Aplikasinya, disebut dengan filosofi Rasionalism.[15]
3. Teori Konstruktivisme
Konstruktivisme
merupakan pandangan filsafat yang pertama kali dikemukakan oleh Giambatista
Vico tahun 1710, ia adalah seorang sejarawan Italia yang mengungkapkan
filsafatnya dengan berkata ”Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia
adalah tuan dari ciptaan”. Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti “mengetahui
bagaimana membuat sesuatu”.Ini berarti bahwa seseorang baru mengetahui
sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu.[16]
Teori belajar konstruktivistik merupakan teori belajar yang lebih
menekankan pada proses dan kebebasan dalam menggali pengetahuan serta upaya
dalam mengkonstruksi pengalaman. Dalam proses belajarnya pun, memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri,
untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga siswa menjadi lebih kreatif dan
imajinatif serta dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.[17]
Konstruktivisme
beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi
dengan objek, fenomena pengalaman dan lingkungan mereka.Hal ini sesuai dengan pendapat Poedjiadi bahwa
“konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi
pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah
dibangun atau dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari
interaksi dengan lingkungannya”.[18]
Prinsip-prinsip
konstruktivisme yang diambil adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa
sendiri, baik secara personal maupun secara sosial; (2) pengetahuan tidak
dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan siswa sendiri untuk
bernalar; (3) siswa aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga terjadi
perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai
dengan konsep ilmiah; (4) guru berperan membantu menyediakan sarana dan situasi
agar proses konstruksi siswa berjalan mulus.[19]
Kaum
konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan bukan suatu yang sudah jadi, tetapi
merupakan suatu proses menjadi. Misalnya, pengetahuan kita tentang
“ayam”, mula-mula dibentuk sejak kita masih kecil ketemu pertama kali dengan
ayam. Pengetahuan tentang ayam waktu kecil belum lengkap, tetapi lambat laun
makin lengkap di saat kita makin banyak berinteraksi dengan ayam yang ternyata
ada bermacam-macam jenisnya, tetapi semua disebut ayam.
Pengetahuan
bukan suatu barang yang dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran seseorang
(dalam kasus ini pendidik) kepada orang lain atau peserta didik. Bahkan ketika
pendidik bermaksud memindahkan konsep, ide, nilai, norma, keterampilan dan pengertian
kepada peserta didik, pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dibentuk oleh
peserta didik sendiri. Tanpa keaktivan peserta didik dalam membentuk
pengetahuan, pengetahuan seseorang tidak akan terjadi.[20]
Pengertian
Teori belajar konstruktivisme menurut Anita
Woolfolk (Benny A. Pribadi, 2009: 156) mengemukakan pendekatan konstruktivistik
sebagai "...pembelajaran yang menekankan pada peran aktif siswa dalam
membangun pemahaman dan memberi makna terhadap informasi dan peristiwa yang
dialami". Konstruktivisme lahir dari gagasan Piaget dan Vigotsky, yang
beranggapan bahwa pengetahuan itu merupakan hasil konstruksi atau bentukan
kognitif melalui kegiatan seseorang yang telah dilakukan sehingga membentuk
pengalaman. Pendapat ini sesuai dengan pandangan Von Glasrfield Suparno (Ratno Harsono, 2007:
23) yang menyatakan bahwa pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsep
seseorang sewaktu ia berinteraksi dengan lingkungannya.
Penjelasan
di atas menunjukkan bahwa pengetahuan tumbuh dan berkembang dari buah pikiran
manusia melalui konstruksi berfikir, bukan melalui transfer dari guru kepada
siswa.Oleh karena itu siswa tidak dianggap sebagai tabula rasa atau berotak
kosong ketika berada di kelas.Ia telah membawa berbagai pengalaman, pengetahuan
yang dapat digunakan untuk mengkonstruksikan pengetahuan baru atas dasar
perpaduan pengetahuan sebelumnya dan pengetahuan yang baru itu dapat menjadi
milik mereka.
D.
Jenis – Jenis Belajar
Belajar, adalah istilah umum yang
digunakan untuk mendeskripsikan perubahan potensi prilaku yang bersal dari
pengalaman. Akan tetapi conditioning (pengkondisian, penyaratan) adalah istilah
yang lebih spesifik yang dipakai untuk mendeskripsikan prosedur actual yang
yang dapat memodifikasi prilaku. Karena ada dua pengkondisian, classical (klasik)
dan operan (instrumental).
1.
Pengkondisian Klasik (Classical
Conditioning)
Pengondisian klasik ini pada mulanya ditemukan oleh Ivan Pavlov pada decade 1890-an, fisiolog dari Rusia ketika sedang melakukan
penelitian eksperimen mengenai proses produksi air liur pada anjing.
Ia melihat bahwa anjing tersebut tidak hanya merespon berdasarkan
kebutuhan biologis (rasa lapar), tetapi juga sebagai hasil dari
proses belajar yang kemudian disebut sebagai pengondisian klasik.
Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia. Ayahnya
Peter Dmitrievich Pavlov seorang pendeta. Ia dididik di sekolah
gereja dan melanjutkan ke Seminari Teologi. Pavlov lulus sebagai
sarjana kedokteran dengan bidang dasar fisiologi. Pada tahun 1884 ia menjadi
direktur departemen fisiologi di Institute of Experimental Medicine
dan memulai penelitian mengenai fisiologi pencernaan. Karyanya mengenai
pengondisian sangat mempengaruhi psikologi behavioristik di Amerika. Karya
tulisnya adalah Work of Digestive Glands (1902) dan
Conditioned Reflexes (1927).
Pada awal karirnya, Ivan Pavlov bukanlah peneliti
di bidang psikologi. Ia adalah fisiolog yang mempelajari sistem pencernaan pada anjing. Padae ksperimennya, Pavlov memasang sebuah selang pada kelenjar liur seekor anjing untuk mengukur jumlah produksi air liur anjing tersebut. Ia membunyikan sebuah bel dan setelah
beberapa detik kemudian memberikan makanan kepada anjing tersebut. Pemasangan
stimulus antara membunyikan sebuah bel dan memberikan makanan kepada anjing
tersebut dilakukan berulang kali dan direncanakan dengan sangat hati-hati. Pada
awalnya, anjing tersebut akan mengeluarkan air liur ketika makanan telah
dimunculkan. Tidak lama kemudian, anjing tersebut mengeluarkan air liur ketika
mendengar suara bel. Bahkan pada eksperimennya, ketika Pavlov menghentikan
pemberian makanan, anjing tersebut masih mengeluarkan air liur setelah
mendengar suara bel. Anjing tersebut telah mengalami pengondisian klasik dalam
mengeluarkan air liur setelah mendengar suara bel. Berkat eksperimennya, pada
tahun 1904 Ivan Pavlov memenangkan hadiah Nobel dibidang psikologi dan kedokteran atas karyanya mengenai pencernaan.[21]
Classic conditioning (pengondisian klasik) adalah proses dimana
perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara
berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan.
Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli sangat terpengaruh
pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari
perilakunya. Teori ini disebut classical karena yang mengawali nama teori
ini untuk menghargai karya Ivan Pavlov yang paling pertama di bidang
conditioning (upaya pembiasaan) serta untuk membedakan dari teori conditioning
lainnya.
Untuk memahami teori pengondisian klasik secara menyeluruh perlu
dipahami ada dua jenis stimulus dan dua jenis respon. Dua jenis stimulus
tersebut adalah stimulus yang tidak terkondisi (unconditioned stimulus-UCS),
yaitu stimulus yang secara otomatis menghasilkan respon tanpa didahului dengan
pembelajaran apapun contohnya makanan dan stimulus terkondisi (conditioned
stimulus-CS), yaitu stimulus yang sebelumnya bersifat netral, akhirnya
mendatangkan sebuah respon yang terkondisi setelah diasosiasikan dengan
stimulus tidak terkondisi (contohnya suara bel sebelum makanan datang).[22]
Ia mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi pipi pada seekor
anjing. Sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila
diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan keluarlah air liur anjing tersebut.
Kini sebelum makanan diperlihatkan, maka yang didengarkan bunyi
bel terlebih dahulu, baru makanan. Dengan sendirinya air liurpun akan
keluar pula. Apabila perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, maka
pada suatu ketika dengan hanya memperdengarkan bel saja tanpa makanan maka
air liurpun akan keluar pula.
Makanan adalah rangsangan wajar, sedang bel adalah rangsangan
buatan. Ternyata kalau perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang,
rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat (kondisi) untuk timbulnya air
liur pada anjing tersebut. Peristiwa ini disebut Refleks Bersyarat atau
Conditioned Respons.
Berdasarkan eksperimen dengan menggunakan anjing, Pavlov menyimpulkan bahwa
untuk membentuk tingkah laku tertentu harus dilakukan secara berulang-ulang
dengan melakukan pengkondisian tertentu. Pengkondisian itu adalah dengan
melakukan semacam pancingan dengan sesuatu yang dapat menumbuhkan tingkah laku
itu. Hal ini dikarenakan classical conditioning adalah sebuah prosedur
penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya
refleks tersebut.
Berdasarkan hasil eksperimen tersebut, Pavlov juga menyimpulkan bahwa hasil
eksperimennya itu juga dapat diterapkan kepada manusia untuk belajar. Implikasi
hasil eksperimen tersebut pada kegiatan belajar manusia adalah bahwa belajar
pada dasarnya membentuk asosiasi antara stimulus dan respons secara reflektif,
proses belajar akan berlangsung apabila diberi stimulus bersyarat.[23]
Eksperimen Pavlop
memperlihatkan bahwa, apabila rangsangan netral sebelumnya dipasangkan dengan
rangsangan tanpa pengkodisian, rangsangan netral tersebut menjadi rangsangan
yang dikondisikan dan memperoleh kekuatan untuk mendorong tanggapan serupa
terhadap apa yang dihasilkan oleh rangsangan tanpa di kondisikan tadi. Dengan kata lain, setelah lonceng dan daging
tersebut disodorkan bersama-sama, bunyi lonceng itu sendiri mengakibatkan
anjing tadi mengluarkan air liur. Proses ini disebut pengkodisian klasik.[24]
Dari uraian di atas dapat dipahami
bahwa pengkondisian klasik adalah tipe pembelajaran dimana suatu
organisme belajar untuk mengaitkan atau mengasosiasikan stimuli. Dalam
pengkondisian klasik stimulus netral diasosiasikan dengan stimulus bermakna dan
menimbulkan kapasitas untuk mengeluarkan respons yang sama. Pada teori
pembelajaran ini dikenal beberapa istilah, yaitu: (1) unconditioned stimulus
(US); (2) unconditioned response (UR); (3) conditioned stimulus
(CS); dan (4) conditioned response (CR).
Unconditioned stimulus (US)
adalah sebuah stimulus yang secara otomatis menghasilkan respons tanpa ada
pembelajaran terlebih dahulu. Dalam eksperimen Pavlov, makanan (daging) adalah
US. Unconditioned response (UR) adalah respons yang tidak dipelajari
yang secara otomatis dihasilkan oleh US. Dalam eksperimen Pavlop, air liur
anjing yang merespons makanan adalah UR. Conditioned stimulus (CS) adalah
stimulus yang sebelumnya netral yang akhirnya menghasilkan conditioned
response setelah diasosiasikan dengan US. Dalam eksperimen Pavlov suara
yang dibunyikan (bel) atau tepung daging adalah CS. Conditioned response
adalah respons yang dipelajari, yakni respons terhadap stimulus yang
terkondisikan yang muncul setelah terjadi pasangan US-CS.[25]
Melalui eksperimen tersebut Pavlov menunjukkan bahwa belajar dapat
mempengaruhi perilaku seseorang. Faktor lain yang juga penting dalam teori
belajar pengkondisian klasik Pavlov adalah generalisasi, deskriminasi, dan pelemahan.
a.
Generalisasi
Dalam mempelajari respon terhadap stimulus serupa, anjing akan mengeluarkan air liur begitu mendengar suara-suara yang mirip dengan bel, contoh suara peluit (karena anjing mengeluarkan air liur ketika bel dipasangkan dengan makanan). Jadi, generalisasi melibatkan kecenderungan dari stimulus baru yang serupa dengan stimulus terkondisi asli untuk menghasilkan respon serupa. Misalkan siswa dimarahi karena ulangan biologi buruk. Saat murid itu bersiap untuk ulangan kimia, dia juga menjadi gugup karena dua mata pelajaran tersebut berkaitan. Jadi murid itu menggeneralisasikan satu ulangan mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya.[26]
Dalam mempelajari respon terhadap stimulus serupa, anjing akan mengeluarkan air liur begitu mendengar suara-suara yang mirip dengan bel, contoh suara peluit (karena anjing mengeluarkan air liur ketika bel dipasangkan dengan makanan). Jadi, generalisasi melibatkan kecenderungan dari stimulus baru yang serupa dengan stimulus terkondisi asli untuk menghasilkan respon serupa. Misalkan siswa dimarahi karena ulangan biologi buruk. Saat murid itu bersiap untuk ulangan kimia, dia juga menjadi gugup karena dua mata pelajaran tersebut berkaitan. Jadi murid itu menggeneralisasikan satu ulangan mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya.[26]
b.
Deskriminasi
Organisme merespon stimulus tertentu, tetapi tidak terhadap yang lainnya. Pavlov memberikan makanan kepada anjing hanya setelah bunyi bel, bukan setelah bunyi yang lain untuk menghasilkan deskriminasi. Contoh, dalam mengalami ujian dikelas yang berbeda, peserta didik tidak merasa sama gelisahnya ketika menghadapi ujian matematika dan bahasa Indonesia karena keduanya merupakan subjek yang berbeda.[27].
Organisme merespon stimulus tertentu, tetapi tidak terhadap yang lainnya. Pavlov memberikan makanan kepada anjing hanya setelah bunyi bel, bukan setelah bunyi yang lain untuk menghasilkan deskriminasi. Contoh, dalam mengalami ujian dikelas yang berbeda, peserta didik tidak merasa sama gelisahnya ketika menghadapi ujian matematika dan bahasa Indonesia karena keduanya merupakan subjek yang berbeda.[27].
c.
Pelemahan (extinction)
Proses melemahnya stimulus yang
terkondisi dengan cara menghilangkan stimulus tak terkondisi. Pavlov
membunyikan bel berulang-ulang, tetapi tidak disertai makanan. Akhirnya, dengan
hanya mendengar bunyi bel, anjing tidak mngeluarkan air liur. Demikian hal nya, murid yang gugup ulangan, ketika
menghasilkan skor yang buruk, tidak lagi ditegur, pada lain kesempatan tidak
lagi gugup ketika hendak menghadapi ulangan, dan kecemasannya pun mereda.[28]
2.
Pengkondisian Insrumental/Operan (Operant
Conditioning)
B. F. Skinner (1953) adalah orang yang
mengembangkan teori operant conditioning, yakni pembelajaran yang
perilaku disengajanya diperkuat atau diperlemah oleh konsekuensi atau
antesenden. Skinner mulai dengan keyakinan bahwa prinsip-prinsip clasical
conditioning hanya menjelaskan sebagian kecil perilaku yang dipelajari.
Banyak perilaku manusia yang bersifat operant, bukan respondent. Classical
conditioning hanya mendeskripsikan bagaimana bila perilaku yang sudah ada
dipasangkan dengan stimuli baru; ia tidak menjelaskan bagaimana
perilaku-perilaku operant baru diperoleh.[29]
Perilaku, seperti respons atau
tindakan, hanya sekedar kata untuk menyebutkan apa yang dilakukan seseorang
dalam situasi tertentu. Secara konseptual, seseorang dapat memikirkan perilaku
sebagai suatu yang diapit di antara dua macam pengaruh lingkungan:
pengaruh-pengaruh yang mendahuluinya (antensenden) dan yang mengikutinya
(konsekuensi). Hubungan ini dapat ditunjukkan dengan sangat sederhana
sebagai antencendent-behavior-consequence, atau A-B-C. Bila perilaku berlanjut,
konsekuensi tertentu menjadi antensenden bagi sekuensi ABC selanjutnya.
Penelitin di bidang operant conditioning menunjukan bahwa perilaku operant
dapat diubah melalui perubahan antensenden, konsekuensi, atau kedua-duanya.[30]
Menurut pandangan behavioral, konsekuensi menentukan sejauh mana seseorang akan
mengulangi perilaku yang menghasilkan konsekuensi tersebut. Tipe dan timing konsekuensi dapat memperkuat atau memperlemah
perilaku. Dengan kata lain, apabila perilaku seseorang langsung diikuti oleh
konsekuensi yang menyenangkan, orang itu akan lebih sering terlibat dalam
perilaku tersebut. Penggunaan konsekuensi-konsekuensi tersebut utuk mengubah
perilaku disebut dengan pengkondisian operan (operant condition).
Skinner terfokus pada penempatan
subjek dalam situasi yang dikendalikan dan pada pengamatan perubahan perilaku
mereka yang dihasilkan oleh perubahan sistematis konsekuensi perilaku mereka.
Skinner terkenal karena dia mengembangkan alat yang lazim disebut sebagai kotak
skinner. Kotak Skinner berisi alat yang sederhana untuk mempelajari perilaku
binatang, biasanya tikus dan merpati. Kotak Skinner untuk tikus terdiri atas
balok yang mudah ditekan oleh tikus tersebut, corong makanan yang dapat memberi
butiran makanan kepada tikus tersebut, dan corong air. Kotak Skinner tersebut
dikondisikan sedemikian rupa, sehingga tikus tidak dapat melihat atau mendengar
apa pun di luar kotak tadi, sehingga semua rangsangan dikendalikan penuh oleh
pelaku eksperimen.[31]
Dalam beberapa eksperimen, Skinner
menggunakan kotak Skinner yang telah dikondisikan sedemikian rupa, apabila
tikus menekan sebuah balok, maka tikus tadi akan mendapatkan butiran makanan,
sehingga tikus berulangkali menekan balok tersebut, agar mendapatkan butiran
makanan yang lebih banyak. Imbalan makanan telah mengkondisikan perilaku tikus
tersebut, yang memperkuat perilaku untuk menekan balok lebih sering, sementara
itu pengkondisian tersebut juga memperlemah perilaku yang lain, seperti
mengurangi perilaku tikus yang berputar-putar dalam kotak Skinner sebelum
menekan balok dan mendapatkan imbalan makanan.[32]
Implementasi
Prinsip Pembelajaran Perilaku Pengkondisian Operan (Operant Condition)
Prinsip-prinsip
pembelajaran perilaku pengkondisian operan meliputi peran konsekuensi (role
of consequence), tindakan penguatan (reinforcer), tindakan
penghukuman (punisher), kesegeraan konsekuensi (immediacy of
consequence), pembentukan (shaping), kepunahan (extinction),
jadwal penguatan (schedule of reinforcement), pemeliharaan, dan peran
antesenden (role of antecendent).
Peran
Konsekuensi (role of consequence)[33]
Prinsip
yang terpenting dalam teori pembelajaran perilaku adalah bahwa perilaku berubah
sesuai dengan konsekuensi langsungnya. Konsekuensi yang menyenangkan memperkuat
perilaku; konsekuensi yang tidak menyenangkan memperlemahnya. Dengan kata lain,
konsekuensi yang menyenangkan meningkatkan frekuensi seseorang terlibat dalam
perilaku tertentu, sedangkan konsekuensi yang tidak menyenangkan mengurangi
frekuensi suatu perilaku tertentu. Apabila siswa senang membaca buku, mereka
tentunya akan sering membaca. Namun, apabila mereka menemukan bacaan yang
membosankan atau tidak mampu berkonsentrasi, mereka akan kurang sering membaca,
dengan sebaliknya memilih kegiatan-kegiatan lain. Konsekuensi yang menyenangkan
disebut sebagai tindakan penguat (reinforcer); konsekuensi yang tidak
menyenangkan disebut tindakan penghukuman (punisher).
Tindakan
Penguatan (Reinforcment: Primer, Sekunder, Positif, Negatif, Intrinsik,
Ekstrinsik, dan Prinsip Premack)
Reinforcement
didefinisikan
sebagai setiap konsekuensi yang memperkuat, yakni meningkatnya frekuensi
perilaku. Seseorang tidak dapat berasumsi bahwa konsekuensi tersebut adalah
tindakan penguatan hingga kita mempunyai bukti bahwa hal itu memperkuat
perilaku bagi individu tertentu. Misalnya, permen pada umumnya mungkin dianggap
suatu tindakan penguatan bagi anak-anak kecil, tetapi setelah banyak makan,
anak tersebut mungkin tidak merasakan bahwa permen itu menyenangkan, dan pada
beberapa anak sama sekali tidak menyukai permen.
Tindakan penguatan mempunyai dua
katageri luas: primer dan sekunder. Tindakan penguatan primer (primary
reinforcer) memuaskan kebutuhan dasar manusia. Beberapa contoh
adalah makanan, air, keamanan. Tindakan penguatan sekunder (secondary
reinforcer) adalah tindakan penguatan yang memperoleh nilainya kalau
dikaitkan dengan tindakan penguatan primer atau tindakan penguatan sekunder
lainnya yang sudah terbentuk dengan baik. Misalnya, uang tidak mempunyai nilai
bagi anak kecil hingga anak itu mempelajari bahwa uang dapat digunakan untuk
membeli sesuatu yang pada dirinya meruapakan tindakan primer atau sekunder.
Nilai sekolah mempunyai nilai yang kecil bagi siswa kecuali orang tua mereka
memperhatikan dan menghargai nilai sekolah yang baik, dan pujian orang tua
bernilai karena hal itu terkait dengan kasih sayang, kehangatan, keamanan, dan
tindakan penguatan lainnya. Uang dan sekolah adalah contoh tindakan penguatan
sekunder karena keduanya tidak bernilai pada dirinya tetapi stelah dikaitkaan
dengan tindakan penguatan primer atau tindakan penguatan sekunder lainnya yang
sudah terbentuk dengan baik.
Tindakan penguatan positif
adalah konsekuensi yang menyenangkan yang digunakan untuk menguatkan perilaku.
Tindakan penguatan seperti ini sering dipraktikan di sekolah meliputi pujian,
nilai, dan pemberian tanda bintang bagi siswa yang memiliki perilaku atau hasil
belajar yang baik. Tindakan penguatan dapat juga berupa mengupayakan
konsekuensi perilaku tersebut menjadi pelarian dari situasi yang tidak
menyenangkan. Misalnya orang tua dapat membebaskan seorang anak dari mencuci
piring bila anak tersebut menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Apabila pekerjaan
mencuci piring tersebut dianggap sebagai tugas yang tidak menyenangkan,
pembebasan dari pekerjaan tersebut akan memberikan penguatan. Tindakan
penguatan yang meruapakan pelarian dari
situasi yang tidak menyenangkan disebut sebagai tindakan penguatan negatif.
Tindakan
penguatan intrinsik adalah perilaku yang dinikmati seseorang dengan
terlibat di dalamnya demi perilaku itu sendiri, tanpa sedikitpun imbalan.
Misalnya hobi, kebanyakan orang mempunyai hobi yang mereka kerjakan dalam waktu
yang lama tanpa sedikit pun imbalan. Siswa senang membaca, berdiskusi,
berkorespondensi, berolahraga, bernyanyi, atau berpetualang tanpa alasan selain
kesenangan dalam melakukannya.
Tindakan penguatan ekstrinsik adalah
pujian atau imbalan yang diberikan untuk memotivasi orang terlibat dalam
perilaku yang mungkin mereka tidak akan terlibat di dalamnya tanpa pujian atau
imbalan tersebut. Pujian lisan dan jenis-jenis umpan balik lainnya adalah
tindakan penguatan ekstrinsik yang telah dibuktikan memiliki fungsi
meningkatkan minat intrinsik siswa, bukan malah mengurangi. Berbagai riset
tentang penguatan ektrinsik memberikan rekomendasi kepada guru agar
berhati-hati dalam menggunakan tindakan penguatan ekstrinsik yang berwujud
kepada para siswa, mesti disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi siswa, sebab
tidak sedikit, tindakan penguatan ektrinsik yang berwujud malah merusak
penguatan intrinsik yang muncul dari diri siswa itu sendiri.
Prinsip Premack
adalah
aturan yang menyatakan bahwa kegiatan yang menyenangkan dapat digunakan untuk
memperkuat keikutsertaan dalam kegiatan yang kurang menyenangkan. Seorang guru
dapat meningkatkan kegiatan yang kurang diminati dengan mengaitkannya dengan
kegiatan yang lebih diinginkan. Misalnya, seorang guru dapat saja memberikan
umpan balik dengan mengatakan, “Bila kalian (para siswa) menyelesaikan tugas
kalian, kalian dapat keluar lebih awal.”
Banyak
contoh-contoh aplikatif yang dapat diterapkan guru dalam upaya reinforcement
agar pembelajaran menjadi semakin menyenangkan, dan tingkat partisipasi serta
frekuensi kegiatan menjadi semakin meningkat dan kuat. Di antara tindakan
penguatan praktis yang dapat dilakukan guru adalah sebagai berikut: penguatan
diri sendiri, pujian, perhatian, nilai dan penghargaan, telepon ke rumah,
penguatan berbasis keluarga, hak istimewa, tindakan penguatan kegiatan,
tindakan penguatan nyata, makanan, dan lain sebagainya.
Tindakan
Penghukuman[34]
Hukuman adalah konsekuensi yang tidak menyenangkan yang
berguna untuk melemahkan perilaku. Namun apabila konsekuensi yang kelihatannya
tidak menyenangkan tidak mengurangi fekuensi perilaku yang diikutinya, hal itu
tidak selalu merupakan tindakan penghukuman. Misalnya, beberapa siswa senang
dimarahi, karena hal itu memberi mereka perhatian guru dan barangkali
meningkatkan status mereka di antara teman-temannya. Hukuman dapat mempunyai
dua bentuk utama, yaitu: hukuman pemberlakuan, dan hukuman pencabutan.
Hukuman pemberlakuan adalah
rangsangan yang tidak disukai yang mengikuti perilaku tertentu, yang digunakan
untuk memperkecil kemungkinan bahwa perilaku tersebut akan terjadi lagi,
seperti ketika siswa dimarahi oleh guru. Sedangkan hukuman pencabutan adalah
konsekuensi yang tidak menyenangkan yang dicabut untuk dihindari seseorang atau
melarikan diri darinya. Misalnya, hilangnya hak istimewa, keharusan tinggal di
kelas selama istirahat, atau keharusan tinggal di kelas setelah jam
sekolah selesai.
Persoalan apakah harus, kapan, dan
bagaimana menghukum telah menjadi sumber kontroversi yang sangat besar di
kalangan ahli teori pembelajaran perilaku. Beberapa menyatakan bahwa efek
hukuman, khususnya hukuman pemberlakuan (yang tidak disukai), hanya bersifat
sementara, bahwa hukuman menghasilkan agresi, dan hal itu menyebabkan
orang-orang menghindari keadaan di mana hal itu digunakan. Bhakan ahli-ahli
teori pembelajaran perilaku yang benar-benar mendukung penggunaan hukuman
setuju bahwa hal itu seharusnya ditempuh hanya ketika penguatan untuk perilaku
yang tepat telah dicoba dan tidak berhasil; bahwa ketika hukuman diperlukan,
hal itu seharusnya diberikan dalam bentuk yang sesering mungkin, konsisten
diterapkan. Sedangkan hukuman fisik di sekolah (seperti pukulan) bertentangan
dengan hukum di kebanyakan tempat dan ditentang secara universal oleh ahli-ahli
teori pembelajaran perilaku dengan alasan etis dan juga ilmiah.
Kesegaran Konsekuensi[35]
Salah
satu prinsip yang sangat penting dalam teori pembelajaran perilaku adalah bahwa
konsekuensi yang mengikuti perilaku dalam waktu yang berdekatan jauh lebih
mempengaruhi perilaku daripada konsekuensi yang tertunda. Kalau Skinner
menunggu beberapa menit untuk memberikan butiran makanan kepada tikus dalam
kotak Skinner, setelah tikus itu menekan balok, tikus tersebut akan membutuhkan
waktu yang lama mempelajari kaitan antara tekanan balok dengan makanan, karena
saat makanan itu tiba, tikus tadi mungkin sedang melakukan sesuatudi luar
menekan baloknya.
Tindakan
penguatan yang lebih kecil yang langsung diberikan umumnya mempunyai efek yang
jauh lebih besar daripada tindakan penguatan besar yang diberikan kemudian.
Konsep ini banyak menjelaskan perilaku manusia. Misalnya, mengapa orang sulit
merokok dan makan makanan berlebihan, oleh sebab orang banyak mengabaikan
penguatan kecil tetapi langsung, berupa berhenti menghisap satu batang rokok
atau satu buah donat.
Penerapan
konsep kesegaran konsekuensi (immediacy consequence) di kelas seperti
memberikan pujian secara langsung kepada siswa yang berhasil mengerjakan
tugasnya dengan baik, hal ini jauh lebih bermakna dan menjadi tindakan
penguatan yang lebih kuat dibandingkan pemberian nilai atau skor yang bagus
yang diberikan kemudian hari. Contoh lain seperti guru mendekat kepada siswa
yang berperilaku tidak pantas, menyentuh bahunya mungkin akan lebih efektif
daripada peringatan yang diberikan pada akhir jam pelajaran.
Pembentukan (Prompt and Shaping)[36]
Pembentukan
adalah
istilah yang digunakan dalam teori pembelajaran perilaku untuk merujuk pada
pengajaran kemampuan atau perilaku baru dengan memperkuat pelajar untuk
mendekati perilaku akhir yang diinginkan. Misalnya, dalam mengajari anak-anak
mengikatkan tali sepatu mereka, kita tidak hanya memperlihatkan kepada mereka
bagaimana hal itu dilakukan dan kemudia menunggu untuk memperkuat mereka
mengerjakan seluruh tugas itu. Sebaliknya, kita pertama-tama akan memperkuat
mereka untuk mencoba ikatan pertma, kemudian untuk membuat simpul, dan
seterusnya, hingga mereka dapat mengerjakan seluruhnya dengan benar. Dengan
cara ini kita akan membentuk perilaku anak-anak tersebut dengan memperkuat
semua langkah yang mengarah pada tujuan akhir. Dengan kata lain, guru dapat
mengajarkan siswa kemampuan-kemampuan itu langkah demi langkah, hingga dapat
membentuk kemampuan siswa yang diharapkan.
Kepunahan (extinction)[37]
Pada hakikatnya,
tindakan penguatan adalah upaya menguatkan perilaku. Namun demikian, apabila
tindakan penguatan tersebut ditarik kembali, maka proses tersebut disebut
dengan kepunahan (extinction). Prinsip ini memiliki dua
pengembangan teori: Pertama, teori yang menyatakan bahwa perilaku mengalami
peningkatan ketika tindakan penguatan ditarik kembali pada awalnya, kemudian
dengan cepat melemah hingga perilaku itu menghilang, namun perilaku tersebut
akan kembali terjadi dalam waktu yang lama. Misalnya, guru yang tidak memberi
kesempatan untuk menjawab kepada siswa yang mengacukan tangannya dengan
perilaku yang tidak seperti berteriak, maka lambat laun siswa tersebut dengan
sendirinya akan menghilangkan perilaku yang tidak pantas tersebut. Kedua,
teori yang menyatakan bahw kenaikan tingkat perilaku pada tahap awal kepunahan,
mempunyai konsekuensi penting bagi pengelolaan kelas. Misalnya, Seorang guru
memutuskan untuk mengabaikan teriakan seorang siswa yang mengacungkan
tangannya, hingga menimbulkan reaksi yang lebih dengan melakukan teriakan yang
lebih keras, namun bilamana seorang guru memutuskan untuk tetap mengabaikannya,
maka tindakan tersebut menjadi strategi yang benar untuk dilakukan.
Jadwal Penguatan (Schedule Reinforcement)[38]
Jadwal Penguatan
adalah frekuensi dan daya prediksi penguatan,
yaitu jumlah waktu yang berlalu antara kesempatan memperoleh penguatan dan daya
prediksi penguatan tersebut. Jadwal penguatan berfungsi menguraikan tentang
kapan dan bagaimana respons diperbuat. Ada empat cara penjadwalan penguatan
sebagai berikut:
1. Jadwal
Rasio Tetap (FR-Fixed Ratio Schedule), yaitu
jadwal penguatan dimana perilaku yang diinginkan diberi imbalan setelah
dilakukan perilaku dalam jumlah tetap. Misalnya, guru dapat mengatakan, “Begitu
kalian telah selesai mengerjakan 10 soal, kalian boleh keluar.” Tanpa peduli
berapa pun jumlah waktu yang diperlukan, siswa dikuatkan begitu mereka
menyelesaikan 10 soal.
2. Jadwal
Rasio Variabel (VR-Variable Ratio Schedule, yaitu jadwal penguatan dimana perilaku yang
diinginkan diberi imbalan setelah sejumlah perilaku tidak dapat diperkirakan
banyaknya. Di kelas, jadwal rasio variabelterdapat ketika siswa mengangkat
tangan untuk menjawab pertanyaan. Mereka tidak akan pernah tahu kapan mereka
akan dikuatkan dengan sanggup menjawab benar, tetapi mereka dapat maju untuk dipanggil
satu kali dari tiga puluh kesempatan dalam satu kelas yang terdapat 30 siswa.
3. Jadwal
Interval Tetap (FI-Fixed Interval), yaitu
jadwal penguatan dimana perilaku yang diinginkan diberi imbalan setelah jumlah
waktu yang tetap. Misalnya berkaitan dengan ulangan harian yang diberikan pada
interval yang ditetapkan pada jangka waktu yang pendek. Hal demikian berguna
untuk mendorong siswa agar dapat memberikan upaya yang lebih baik, alih-alih
menghabiskan waktu sepanjang malam sebelum ujian berlangsung.
4. Jadwal
Interval Variabel (VI- Variable Interval), yaitu
jadwal penguatan dimana perilaku yang diinginkan diberi imbalan setelah jumlah
waktu yang tidak dapat diperkirakan banyaknya. Misalnya, seorang guru melakukan
pemeriksaan acak terhadap siswa yang mengerjakan tugas di kelas. Siswa
dikuatkan kalau mereka bekerja dengan baik pada saat tertentu ketika guru
tersebut mendekati beberapa siswa untuk memeriksa tugas siswa tertentu.
Pemeliharaan (maintenance)[39]
Prinsip kepunahan
menyatakan bahwa, ketika penguatan untuk perilaku yang dipelajari sebelumnya
ditarik kembali, perilaku tersebut menghilang. Apakah ini berarti guru harus
memperkuat perilaku siswa selamanya atau perilaku tersebut akan lenyap? Tentu
tidak selalu. Sebab manusia hidup dalam dunia yang jauh lebih rumit yang penuh
dengan tindakan penguatan alami bagi banyak kemampuan dan perilaku yang kita
pelajajari di sekolah. Misalnya, siswa pada awalnya mungkin akan sering
memerlukan penguatan dari perilaku yang menghasilkan kemampuan membaca. Namun
begitu mereka dapat membaca, mereke mempunyai kemampuan untuk memperlancar
bacaannya sendiri dari berbagai sumber. Setelah masa tertentu, penguatan untuk
membaca tidak diperlukan lagi.
Jenis pemeliharaan perilaku juga
terjadi pada perilaku yang tidak perlu dikuatkan karena hal itu memperkuat
secara intrinsik, yang berarti bahwa keterlibatan dalam perilaku ini sendiri
sangat menyenangkan. Misalnya, banyak anak yang senang menggambar, memecahkan
masalah, atau mempelajari sesuatu sekalipun mereka tidak perlu dikuatkan untuk
melakukannya.
Peran Atesenden (Antecenet Stimuli)[40]
Rangsangan
Atesenden adalah
peristiwa yang mendahului perilaku, juga dikenal sebagai isyarat (cue),
karena hal itu memberitahukan kepada
kita perilaku tertentu yang akan dikuatkan dan atau perilaku apa yang akan
dihukum. Isyarat mempunyai bentuk dan memberi kita petunjuk tentang kapan kita
sebaiknya mengubah perilaku kita dan kapan sebaiknya tidak. Misalnya, selama
pelajaran al-Quran Hadis, kebanyakan guru akan memperkuat siswa dengan
memberikan soal. Namun setelah guru tersebut mengumumkan bahwa pelajaran
al-Quran hadis sudah selesai dan kini waktunya istirahat, konsekuensi tersebut
berubah. Kemampuan berprilaku semacam ini, dimana suatu cara di hadapan satu
rangsangan, pada lain hal terdapat rangsangan lain dikenal dengan diskriminasi
rangsangan.
Diskriminasi
adalah
penggunaan isyarat, tanda, atau informasi untuk mengetahui kapan perilaku
kemungkinan akan dikuatkan. Penerapan konsep ini dalam pembelajaran dapat
dilakukan dengan penyampaian yang dilakukan guru kepada siswa tentang hal-hal
yang dapat dikuatkan oleh guru dan yang tidak atau bahkan mendapatkan hukuman.
Misalnya, guru membacakan ketentuan-ketentuan pembelajaran di kelas sebelum
pembelajaran dimulai.
Dalam
rangsangan antesenden juga terdapat generalisasi. Generalisasi di sini
berarti sebagai upaya mempertahankan perilaku, kemampuan, atau konsep dari satu
keadaan atau tugas ke keadaan yang lain. Misalnya, penerapan generalisasi dalam
pelajaran al-Qur’an Hadis, yakni apabila siswa mamapu mengidentifikasi hukum
bacaan nun mati atau tanwin pada surah al-Baqarah, siswa juga dapat dipastikan
mampu mengidentifikasi hukum tersebut pada surah-surah yang lain. Jadi jelas,
generalisasi memungkinkan terjadi dalam semua keadaan yang sama atau dalam
seluruh konsep yang sama. Namun demikian, tidak semestinya guru berasumsi bahwa
siswa dapat melakukan sesuatu dalam satu lingkungan, mereka juga dapat
melakukannya dalam lingkungan yang berbeda. Dalam hal ini, guru tetap perlu
melakukan reinforcement terhadap siswa, hingga dapat dipastikan siswa
telah menguasi kemampuan atau perilaku yang diharapkan sesuai dengan tujuan
pembelajaran.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
1.
Belajar
adalah suatu proses kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh seseorang secara
sadar dalam berinteraksi dengan lingkungannya sehingga diperoleh
kecakapan-kecakapan yang baru yang mengakibatkan terjadinya perubahan tingkah
laku didalam dirinya berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan.
DAFTAR PUSTAKA
Aunurrahman, Belajar dan pembelajaran, Bandung, Alfabeta, 2012
Daryanto, Belajar dan Mengajar, Jakarta, Yrama Widya, 2010.
Dimyati & Mudjiono, Belajar
dan Pembelajaran, Jakarta, Rineka Cipta, 2013
Gintings, abdorrahman, Esensi praktis belajar dan pembelajaran,
Yogyakarta, humaniora, 2010.
Sukmadinata,
Nana Syaodih, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung, PT. Remaja
Rosdakarya, 2009.
Syah,Muhibbin,Psikologi
Belajar, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2006.
Syah,Muhibbin, Psikologi
Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya,
2010
Hergenhahn, B.R.,
Matthew H. Olson. Theories Of Learning, Jakarta, Kencana, 2009.
Rusman. Model-Model Pembelajaran (Mengembangkan Profesionalisme Guru),
Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
[1] Abdorrahman Gintings, Esensi praktis belajar dan pembelajaran,
(Humaniora: Yogyakarta, 2010), h.
[2] Sukmadinata, Nana Syaodih, Landasan
Psikologi Proses Pendidikan, ( Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h.
[3] B.R. Hergenhahn, Matthew H.
Olson.
Theories of
learning
edisi ketujuh, ( Jakarta: prenadamedia grup, 2008), h. 2
[7] John W.
Santrock, Educational Psychology, 2th Edition, Alih Bahasa
Tri Wibowo, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h.266.
[8]Muhibbin
Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2006), h. 22.
[10]Wasty
Soemanto, Psikologi Pendidikan; Landasan
Kerja Pemimpin Pendidikan, cet 5 (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), h. 223-224
Lihat juga Abu Ahmadi, Widodo Supriyono, Psikologi
Belajar, cet 1 (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), h. 215
[11]Wasty
Soemanto,, h. 121
[12]Nana
Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi
Proses Pendidikan, cet 5 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), h. 170
[13]Baharudin dan Wahyuni, Teori
Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2007), h. 88.
[14]Syah, Muhibbin, Psikologi
Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Cet. IV (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1999), h. 111.
[15]M.
Sukardjo, Ukim Komarudin, Landasan
pendidikan; Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2009),h. 50
[16]Paul
Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. (Yogyakarta:
Kanisius, 1997), h. 24
[17]Uyoh Sa’dullah, Pengantar Filsafat Pendidikan,
(Bandung: Al Fabeta, 2003), h. 178-179
[18]Poedjiadi,
A, Sains Teknologi Masyarakat; Model Pembelajaran Kontekstual Bermuatan
Nilai. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 70
[19]Paul
Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan………,h. 49
[22] S. Friedman, Howard; Miriam W. Schustack Kepribadian Teori Klasik dan
Riset Modern. (Penerbit Erlangga, 2008), h. 221
[24] Robert
E. Slavin, Educational Psycology: Theory and Practice, Alih Bahasa
Marianto Samosir, (Jakarta: PT Indeks, 2008), h. 180-181.
[25]
Santrock, Educational Psychology…, Op. Cit., h. 268-269.
[26] Ibid.
h. 270.
[27] Ibid.
[28] Ibid.
[29]
Woolfolk, Educational Psychology …,
Op. Cit., h. 307-308.
[30] Ibid.
[31]
Slavin, Educational Psycology…, Op.Cit.,
h. 182-183.
[32] Ibid.,
[33] Ibid.,
h. 184-189.
[34] Ibid.,
190-191.
[35] Ibid.,
h. 192.
[36] Ibid.
h. 193-194. Lihat juga Ratna Willis
Dahar, Teori-Teori Belajar dan Pembelajara, (Jakarta: Penerbit Erlangga,
2011), h. 19-22.
[37] Ibid.,
h. 195-196.
[38] Ibid.,
h. 196-198. Lihat juga Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan landasan
Kerja Pemimpin Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 129.
[39] Ibid.,
h. 200-201.
[40] Ibid.,
h. 201-204.
1 komentar so far
Warning!! SPAM has been detected!
EmoticonEmoticon